RUMAH DAN CINTA KAMI Oleh : Harianto Sutrisno Rumah tua itu berdiri tegak di atas tanah seluas seribu meter persegi, dikelilingi pepohonan hijau yang rimbun. Setiap pagi ada saja suara burung bernyanyi yang tak pernah absen singgah di sana. Sementara itu pot-pot mungil berbaris dari teras sampai ke halaman samping rumah, selain itu di depan rumah ada rerumputan tempat kami berlarian dan bermain dan berlarian semasa kecil. Aku dan Azizul. Kami tumbuh dan besar bersama-sama, tapi entah kenapa setelah aku berusia tujuh belas tahun dan mengetahui kalau Azizul bukanlah abang kandungku, selalu saja ada getaran aneh jika aku sedang menatapnya. Ternyata dia juga memiliki perasaan yang sama dan terjadilah hubungan cinta kami yang awalnya ditentang ayah dan ibu, namun lama kelamaan mereka merestui hubungan kami. Selama ini kami hidup rukun dan damai, namun sejak ayah dan ibu meninggal dunia, suasana di rumah mulai terasa tidak nyaman, karena Azizul yang bekerja sebagai kuli bangunan merasa tidak puas kalau penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya rumah tangga sehari-hari. *** Masih terbayang pertengkaranku dengan Azizul sewaktu di meja makan tadi pagi. “Abang ingin menjual rumah ini dan hasil penjualan akan dipergunakan untuk modal usaha. Ada teman Abang mengajak kerjasama untuk membangun perumahan,” kata Azizul di saat mereka sedang sarapan pagi. Ira terbatuk-batuk mendengar perkataan abangnya. Nasi yang sudah berada di mulutnya hampir saja terlontar keluar, ia benar-benar tidak menyangka kalau Azizul bisa memiliki niat untuk menjual rumah yang ditempati ini. “Tapi Bang,” Ira mencoba membantah, “rumah ini kan peninggalan orang tua kita, sebaiknya jangan dijual.” “Ini kesempatan kita, Yang. Selama ini Abang hanya bekerja sebagai kuli bangunan di perumahan seorang teman, dan sekarang ada peluang untuk sama-sama menjadi pemilik perumahan asalkan Abang bisa menyetor modal untuk pengembangan perumahan itu.” “Penghasilan Abang kan masih cukup untuk menutupi kebutuhan kita? Lagi pula mulai bulan depan Yayang sudah punya penghasilan karena diterima bekerja di swalayan Matahari, jadi untuk apa kita harus menjual rumah lagi?” “Yang, kesempatan ini jarang ada. Ini peluang kita untuk menjadi orang kaya, setelah itu baru kita menikah,” tukas Azizul dengan rasa percaya diri yang tinggi. Kepalanya mendongak ke atas sambil tersenyum membayangkan keuntungan yang akan diperoleh dengan kerjasama itu sehingga kelak bisa senang hidupnya. “Yayang takut kita durhaka kalau Abang menjual rumah warisan orang tua,” ucap Ira sambil menunduk sedih teringat kepada ayah dan ibunya yang telah meninggalkan mereka. Butiran airmata mulai mengalir melalui pipinya. “Siapa bilang itu perbuatan durhaka? Ah sudahlah, Yang. Kamu pikirkan saja itu. Abang mau berangkat kerja dulu,” balas Azizul seraya berdiri dan keluar dari rumah itu. Wajahnya mulai memerah, perasaan marah muncul di hatinya karena perlawanan yang diberikan oleh Ira. Setelah Azizul pergi bekerja, gadis manis bermata bening itu masih terus menangis. Kenapa abang jadi begini? Kenapa dia mau menjual rumah ini? Ada apa sih sebenarnya? Berbagai pertanyaan terus berkecamuk di kepalanya. Rumah yang mereka tempati sekarang ini adalah hasil jerih payah ayahnya yang dulu bekerja sebagai guru sekolah dasar. Dengan susah payah sang ayah menyisihkan sebagian dari gajinya setiap bulan untuk membayar cicilan kredit, sementara sang ibu juga harus pintar-pintar menghemat sisa gaji ayahnya untuk biaya rumah tangga dan biaya sekolah mereka berdua. “Aku tidak boleh membiarkan Abang menjual rumah ini apapun alasannya,” batin Ira, “aku harus bicarakan lagi hal ini nanti malam.” *** Malam ini suasana di meja makan terasa agak kaku. Azizul asyik menyantap makanan yang terhidang, sementara di depannya Ira makan sambil menunduk. Suasana pertengkaran tadi pagi masih terbawa ke meja makan. Wajah Azizul tidak ramah, sambil mengunyah makanan, ia tidak bicara sepatah katapun, bahkan menatap Ira, ia pun tidak mau. “Nggak nambah, Bang,” ucap Ira mencoba memecah kebuntuan. Gadis manis ini kalau berbicara jarang mengeluarkan perkataan yang menyakitkan lawan bicaranya. “Nggak,” jawab Azizul singkat. Biasanya rumah ini terasa dingin di malam hari. Angin yang berhembus masuk melalui ventilasi yang ada di rumah ini membuat udara terasa sejuk, tetapi malam ini suasana terasa mulai panas. Aroma pertengkaran muncul kembali. “Abang sudah putuskan untuk tetap menjual rumah ini. Besok sore ada orang yang datang mau membeli rumah kita,” kata Azizul serius. Matanya menatap tajam kepada Ira. “Jangan Bang. Jangan jual rumah ini.” “Kenapa Yang? Apa Yayang mau hidup kita terus seperti ini? Apa tidak mau setelah menikah nanti, kita bisa kaya raya?” “Siapa yang tidak mau kaya, Bang, tapi resikonya tinggi sekali. Iya kalau setelah menjual rumah, rencana Abang itu berhasil, tapi kalau tidak berhasil, kita harus tinggal di mana? Sudahlah Bang, kita tempati saja rumah ini sampai hari tua kita nanti. Jangan dijual rumah ini” Ira hampir putus asa untuk meyakinkan Azizul, agar tidak menjual rumah yang mereka tempati ini. “Rencana Abang ini pasti berhasil!” “Tidak ada yang pasti di dunia ini, Bang,” bantah Ira tegas. “Jadi kamu tidak setuju?” tanya Azizul dengan suara keras, wajahnya mulai merah padam. “Tidak Bang,” jawab Ira sambil menangis. “Kamu harus setuju!” bentak Azizul yang sudah marah sekali sehingga dia sudah tidak lagi memanggil gadis manis itu dengan panggilan Yayang. “Tidaaak!” Tanpa sadar Ira berteriak ketika menjawab pertanyaan Azizul. Dia sendiri merasa terkejut, kenapa bisa sampai berteriak seperti itu. “Sekali lagi Abang bilang, kamu harus setuju!” teriak Azizul dengan tidak kalah kerasnya seraya berdiri menghampiri Ira. “Tidak. Abang tidak punya hak untuk menjual rumah ini.” “Kenapa?” “Abang cuma anak angkat, jadi tidak punya hak. Anak angkat tidak punya hak waris,” ucap Ira tegas. Diam-diam rupanya tadi siang dia menyempatkan diri mencari tahu tentang hukum waris terhadap anak angkat di internet. Secara hukum yang syah berlaku, baik hukum Islam maupun hukum perdata, anak angkat tidak mendapat hak waris kecuali anak angkat yang diangkat melalui keputusan pengadilan, namun kepada anak angkat dapat dihibahkan harta waris paling banyak sepertiga bagian dari seluruh harta pewaris melalui akte notaris. Dan Azizul diangkat anak oleh orang tuanya Ira tanpa melalui keputusan pengadilan. Azizul terdiam. Ia tidak mengomentari perkataan Ira yang terakhir ini, tapi dia langsung mengayunkan tangannya menampar muka gadis manis itu. “Aduh ...! Beraninya Abang menampar Ira,” ucap Ira terbata-bata, sambil menangis dia memegangi pipinya yang ditampar Azizul. Bekas tamparan di pipinya memerah. “Kalau tidak mau menjual rumah ini, lebih baik Abang bakar saja rumah ini!” kata Azizul sambil masuk ke kamarnya. Ira terus menangis tersedu-sedu. Abang angkat sekaligus kekasihnya telah berani menamparnya hanya karena tidak mau menuruti kemauan untuk menjual rumahnya. Gadis manis itu merasakan perasaan cinta yang telah dipupuk bertahun-tahun, hilang dalam sekejap mata karena tamparan Azizul tadi. Malam ini di rumah yang ditempati oleh Ira dan Azizul mendapat giliran pemadaman listrik dari PLN. Ira memasang lilin di atas sebuah piring besar dan mencoba memberikan kepada Azizul yang berada di dalam kamarnya. “Bang ini lilinnya,” ucap Ira sambil mengetuk pintu kamar Azizul. “Tidak perlu. Ada lilin di kamar ini,” jawab Azizul ketus. Azizul memang sudah menyalakan lilin di dalam kamar. Entah disengaja atau tidak, dia meletakkan lilin itu di atas televisi di kamarnya. Malam semakin larut, namun listrik PLN belum jua menyala. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, tiba-tiba api berkobar membakar kamar Azizul, untung saja pemuda itu bisa terbangun dan berhasil keluar dari kamar itu walaupun kaki dan tangannya terkena luka bakar. Sementara itu Ira juga terbangun dan berlari keluar dari dalam kamar. Tolong-tolong!” teriak Ira sambil berlari ke rumah tetangga meminta pertolongan. Tetangga pun berdatangan membantu memadamkan api, tapi api yang sudah membesar itu tidak bisa dipadamkan lagi dan akhirnya menghanguskan seluruh bagian rumah itu. Polisi datang memeriksa terbakarnya rumah itu. Berdasarkan keterangan dari Ira dan pengakuan Azizul, akhirnya polisi bisa menyimpulkan kalau Azizul adalah tersangka pembakaran rumah itu, sehingga polisi langsung menahan Azizul malam itu juga. Ira yang biasa dipanggil dengan nama Yayang Ira, kini hanya bisa menangisi hubungan cintanya dengan Azizul yang telah hancur berantakan. Dia juga menangisi hangusnya rumah tua peninggalan ayah dan ibunya. Kejamkah dunia ini? SELESAI by Harianto Sutrisno
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Harianto Sutrisno"
Posting Komentar