Luthfi Luthf

#No_Dan_Challenge Judul: Tokoh yang Durhaka pada Penulisnya Oleh Luthfi Luthf Di bawah pohon, berdiri seorang nenek-nenek berjubah hitam. Sebatang tongkat sudah menemani perjalanannya sejauh 3 km. Tapi tenang, beliau tidak membawa jepit rambut beracun ataupun gayung, melainkan botol beling berisi air. Sebilah nampan berpindah dari dalam jubah ke atas tanah berrumput. Iseng-iseng beliau menuangkan air dari botol beling berbentuk segitiga miliknya. Kemudian suatu hal mengagetkan wajah mengerutnya. Untung saja jantung nenek itu tidak ikut copot. Air yang mengisi nampan bergerak sendiri membentuk suatu hasil ramalan yang dapat dibaca beliau. "Dunia ini, sudah terbalik," ujarnya. Terlepas dari memercayai ramalan adalah perbuatan syirik, tebakan nenek itu ada benarnya. Kemudian berucap bahwa akan ada seseorang yang berani melawan alam. Sesosok tubuh yang bungkuk itu --di bukit-- memandang rumah-rumah yang berhamparan di bawahnya. "Akan jadi apa negeri ini selanjutnya?" Matahari siang ini semakin liar memancarkan radiasinya. Dahaga tanpa permisi menyelinap di kerongkongan nenek itu. Segera beliau mengeluarkan kembali botol belingnya. Ketika tutup sudah dibuka, botol diangkat, mulut terbuka menyambut kesegarannya, "Lho? Kok habis? Padahal aku sudah bawa dari rumah? Atau jangan-jangan botol ini bekas kemarin, aku lupa mengisinya kembali. Aduh!" Beliau lupa bahwa botolnya habis dituang ke nampan. *** Adon, seorang remaja berseragam putih biru menyisir jalan di sebuah. Anehnya, walaupun hari ini ada ulangan, ia malah asyik-asyiknya bermanja dengan PSP. Bahkan lebih hebat lagi dia berjalan tanpa menabrak apapun walau matanya sedang dimanjakan oleh permainan yang melenakan. Setidaknya sampai satu kilometer kemudian ia menyelonong melewati palang kereta api. Beberapa orang di sana berteriak-teriak agar dia minggir namun malah tak dihiraukan. Akhirnya suara raungan kereta yang hendak lewat berhasil merebut perhatiannya. Adon menjerit. Tanpa sadar ia menjatuhkan mainan itu. Onggokan besi raksasa yang panjang semakin mendekat. Melahap apapun yang menghalangi perlintasannya. "Luthf, lu kan penulis cerita ini, hentikan keretanya. Gue gak mau mati!" Lho! Kok dia tahu namaku? Segala menyuruh memberhentikan kereta lagi? "Luthf, dengar gue, kan?" lanjutnya. Baiklah, aku buka mulut, "Untuk apa kuberhentikan?" "Jangan banyak ngomong! Buruan." Dengan sangat-sangat-sangat-sangat terpaksa, --ingin rasanya menyebut kata 'sangat' beberapa kali lagi-- kuberhentikan kereta itu mendadak. Membuat para penumpang terpental seluruhnya ke gerbong paling depan. Berbagai protes mereka aku telan bulat-bulat. "Maaf ya, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Ini demi kelancaran jalannya cerita ini. Sekali lagi maafkan saya," ucapku. Sebagai gantinya kusulap luka beserta rasa sakit agar minggat dari tubuh mereka. "Tuh! Lihat, gara-gara kamu teledor hampir saja kamu mati. Tapi karena kamu itu tokoh utama, makanya kubela-belain agar kau tetap hidup. Matikan PSP-nya," lanjutku pada si Adon. Yang membuatku geram, dia malah melanjutkan permainannya itu. Ada sebongkah penyesalan telah menyelamatkannya dari maut. Sesampainya di sekolah, gerbangnya sudah ditutup. Dia terlambat. Ya sudah, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali pulang. "Hey, Luthf, putar mundur kembali jamnya sampai jam 7," suruhnya. "Tidak mau!" "Ya udah, gue gak mau ngapa-ngapain biar ceritanya gak berjalan. Pembaca bakal ninggalin lapak lu tanpa jempol!" Huh! Dasar anak pemalas. "Makanya kalau sudah malam langsung tidur! Jangan begadang," tukasku. "Begadang jangan begadang, kalau tiada ...." Lewat segerobak dangdut keliling. Aku yang menyuruhnya bernyanyi pagi-pagi begini. "Udah! Buruan. Mau gak ceritanya berjalan?" tanyanya galak. Dasar bocah! Lagi, dengan sangat terpaksa kumundurkan kembali waktu hingga jam 7. Dia menyelonong masuk tanpa berterimakasih. *** Si nenek jubah hitam berjalan tertatih. Adakah sungai di tempat ini? Ingin rasanya beliau membunuh dahaga yang menyiksanya. "Lho?" Langkah lamban itu terhenti. Suhu udara mendadak menurun. Mata sayunya terbang ke langit. Ke mana mataharinya? "Sepertinya barusan sudah siang, kok pagi lagi? Ah, aku sudah pikun. Mungkin ini memang masih pagi." Kembali beliau berjalan. Alhamdulillah, ada bentangan sungai yang memanjakan matanya. "Air, air, air!" Langkah kakinya dipercepat. Keren, di jaman sekarang ini masih ada sungai yang jernih. Mula-mula beliau meminumnya dengan tangan, kemudian mengisi botol kosong untuk persediaan selama perjalanan. Semburat senyum terpancar dari wajah senjanya. Benda beling penuh air itu beliau letakkan di tepi sungai. Kakinya ingin berendam dahulu setelah disiksa oleh kasarnya jalanan di bukit itu. Akhirnya pulih kembali. Kakinya siap digerakkan hingga berkilo-kilometer. Saatnya melanjutkan perjalanan. *** Ulangan telah usai. Saatnya pembagian nilai. Ketika kertas Adon mendarat di mejanya, mata besar itu terbelalak kala ada lingkaran merah besar yang menempel di sudut kertas itu. "Gak! Gak! Bisa diomeli kalo kayak begini," gumamnya. Setelah kejadian ini, pasti aku yang menjadi tempat pernintaannya berlabuh. "Luthf, ubah nilai gue jadi 100!" Ia merentangkan kertasnya tepat di depan wajahku. "Tulis saja sendiri, sana. Tambakan angka 10 di depannya. Jadi kan, 100?" jawabku ketus. "Gak ada gunanya kalo gitu, mah! Data yang ada sama Pak guru tetap nilai gue nol. Ayo buruan!" Aku benar-benar kesal. Dasar anak durhaka. Allah, maafkan Hamba yang sudah kehabisan kesabaran .Tangan ini akhirnya mengangkat kerah baju Adon. "Hey, anda bukan Aladdin, saya bukan Jin. Jadi jangan minta keajaiban apapun dari saya. Tahu tidak, cerita saya jadi berantakan gara-gara anda." Kutatap penuh amarah matanya yang berubah ketakutan. "Hey, tenang!" Pak guru menggebrak meja. "Luthf, kau keluar dari ruang kelas ini. Kau bukan siswa sekolah ini." Telunjuk beliau tepat mengarah pada wajahku. "Iya, Pak." Aku beringsut menghilang sambil membawa amarah yang belum puas. Anak seperti Adon tak boleh selamanya hidup. Khawatir anak-anak lain akan mencontoh ketidak sopanannya. Lihat saja, di abad ini banyak anak yang melawan orang tua. Ada juga yang bukan memanggil dengan sebutan Ayah atau Ibu, melainkan nama aslinya. Pun tak sedikit yang berbicara dengan menggunakan kata lo-gue. Aha! Aku tahu bagaimana cara mematikan Si Adon. *** Langkah kaki yang kuat membuat nenek jubah hitam 'menyasar' ke toko parfum. Wajahnya dimasukkan ke dalam jubah untuk memeriksa bau badannya. Kemudian keluar dengan memasang wajah menahan muntah. Maklumlah, perjalanan jauh. "Permisi, Dek. Parfum itu harganya berapa?" Beliau menunjuk salah satu barang dagangan yang kebetulan bentuk botolnya sama dengan yang dimiliki. "120 ribu, Bu," jawab si penjaga toko sambil meminjamkan untuk diperlihatkannya. Mana ada uang sebanyak itu? Si nenek mengeluarkan botol miliknya. "Bentuknya sama ya, Dek." Padahal beliau sangat ingin mengoleksi botol berbentuk seperti itu. "Ya sudah. Tak jadi beli deh, Dek. Maaf, ya." "Iya, Bu. Gak papa. Hati-hati di jalan, Bu." *** Pinggir jalan. Diam-diam kuperhatikan Adon sedang berjalan pulang sekolah dengan murung. Apa aku keterlaluan? Tapi kalau dia dimanjakan terus akan menjadi anak pemalas. Nilai nol-nya itu kan karena keseringan main game. Tiba-tiba dari kejauhan muncul seorang nenek-nenek jubah membawa tongkat. Mereka akan berpapasan. Sebaiknya aku jangan keluar dulu. Tetap memantau dari sini. Namanya juga penulis, aku bisa bersembunyi di mana saja sesuka hati. "Cu," panggil si nenek jubah. "Kenapa, Nek?" Adon mengangkat wajah. "Kamu tampak sedih, Cu. Nama kamu siapa?" "Adon." Tangan nenek yang dipenuhi keriput membelai rambut pendek anak itu. "Anak muda harus semangat. Jangan pundung." Lalu beliau mengeluarkan sebotol air dari dalam jubahnya. "Ayo minum dulu. Ini akan membuatmu baikan." Anak itu menerimanya. Dia minum hingga habis tanpa sisa. Tiba-tiba aroma yang sangat wangi menyebar dari mulutnya. Seketika itu juga tubuh Adon roboh. Ternyata botol si nenek tertukar dengan parfum mahal tadi. "Hahahahahahahahahahahahahahahahah!" Aku tertawa menang. Akhirnya. Tamat :v by Luthfi Luthf

Related Posts:

0 Response to "Luthfi Luthf"

Posting Komentar