Nur Yati Againt

#Fiksi Oleh : NURYATI * Bara di Pedukuhan Pringsewu * Sinar mentari memaksaku untuk bangun, pandanganku menyapu sekeliling. Pohon-pohon tinggi dan sebuah ceruk tersembunyi. "Dimana aku ...? Apa yang sudah terjadi?" Seseorang telah menolong dan membawa kabur diriku ketika terjadi perkelahian dengan Varun. Rasa sakit dan pegal di seluruh tubuh membuat sedikit terhuyung ketika mencoba bangun, kusandarkan tubuh pada batang pohon akasia yang cukup besar, sambil berusaha mengingat kejadian sehari sebelumnya. *** Pedukuhan Pringsewu Tersebutlah Pringsewu sebuah wilayah pedukuhan yang sangat subur, dengan kebun bambu di mana-mana. Pedukuhan Pringsewu di pimpin seorang Demang yang sangat bijaksana, Ki Demang yang bernama Kangmas Agung Jacklo. Demang Kangmas Agung Jacklo memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dewi Wulan Utami, dengan rambut panjang hitam mayang dan bibir merah delima membuat para jawara ingin mempersuntingnya. Kecantikan Dewi Wulan Utami sampai di telinga Varun dan Dimas Cakra sahabatnya, membuat rasa angan melambung untuk memiliki putri Demang. Dengan percaya diri Varun datang ke kademangan di temani Dimas Cakra sahabatnya, tampa berbasa-basi lagi Varun menyampaikan segala yang menjadi keinginannya. Tampak terkejut Ki Demang Kangmas Agung Jacklo, namun Ki Demang mampu mengusai diri. Dengan tetap tenang mendengarkan segala ucapan Varun. "Aku membawa banyak batu-batu berharga, dari bacan sampai giok untuk di persembahkan Ki Demang," ucap Varun dengan keyakinan tinggi. "Trimakasih saudara Varun, atas persembahan ini, tapi saya tak bisa begitu saja menerima lamaranmu, kecuali kau mampu memenuhi persyaratan dariku" jawab Ki Demang. "Katakan saja persyaratannya Ki," tantang Varun. "Baiklah bila saudara Varun berkeras untuk meminang putriku Dewi Wulan Utami." "Syaratnya adalah kau harus bisa menebang seluruh pohon bambu yang ada di pedukuhan ini, tepat matahari berada di atas kepala," lanjut Ki Demang. Ki Demang sebenarnya hanya bersiasat dengan memberi persyaratan yang tak mungkin bisa di penuhi oleh Varun. "Apakah kau menyanggupinya?" Pertanyaan basa-basi Ki Demang Kangmas Agung Jacklo pada Varun. "Baik ... aku yakin bisa melakukannya," balas Varun yakin. Singkat cerita Varun segera merapal mantra pemberian gurunya, agar kekuatannya bertambah kuat. Dengan satu gerakan tangan mengangkat di udara dan secara ajaib sebuah kapak berwarna merah telah muncul dalam genggaman Varun. Wing ... wing ... wing ... bunyi kapak di mainkan Varun dan berputar-putar di udara. Para warga pedukuhan datang berbondong-bondong ingin menyaksikan penebangan pohon bambu yang di lakukan Varun. Semua mata di buat takjub apa yang di lakukan Varun, dengan gerakan tangkas membabat pohon bambu yang berjejer di pinggiran alun-alun. Sampai waktu yang di tentukan tiba, Varun hampir selesai membabat pohon bambu yang mengelilingi kawasan pedukuhan. Bergembiralah Varun karena yakin usahanya akan berhasil, dengan keyakinan tinggi dia sesumbar dengan sombongnya. "Lihatlah Ki Demang Kangmas Agung jacklo! aku akan berhasil membabat bambu semuanya." Ki Demang terdiam hanya tersenyum penuh arti, tangannya mengusap cincin yang berjejer rapi di jari-jari, jelas sekali Ki Demang sedang merencanakan sesuatu. Matahari tepat di atas kepala, saat Varun tepat membabat bambu terakhirnya. Ha ... ha ... ha ... Varun tertawa dengan gembira. "Lihatlah Ki ... aku sudah berhasil memenuhi persyaratanmu. "Kau gagal Varun, lihatlah disana pohon bambu pertama yang kau tebang," "Bambu itu masih tegak berdiri," kata Ki Demang Kangmas Agung jacklo dan membuat Varun melonjak kaget. "Tidak mungkin ! bagaimana bisa bambu yang sudah di roboh di babat bisa berdiri lagi!" seru Varun terkejut. Bambu-bambu yang sudah rebah di tanah perlahan-lahan menyatu kembali dan berdiri dengan kokoh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Benar-benar ajaib. Varun yang melihat semua itu menjadi murka, dia merasa telah di perdaya oleh Ki Demang Kangmas Agung Jacklo. Dengan geram Varun mengamuk membabi-buta, menyerang siapa saja yang ada di hadapannya. Pasukan keamanan pedukuhan menghalau serangan Varun, bahkan Ki Demang sendiri turun langsung menghalau terjangan Varun. Selarik sinar perak keluar dari cicin yang di kenakan Ki Demang, bagai sinar laser mengarah ke Varun, kalau saja Dimas Cakra terlambat menarik Varun, bisa di bayangkan hal yang buruk menimpa Varun. "Cepat kau tinggalkan daerahku Varun, kembalilah kelautan!" bentak Ki Demang. "Kau sudah kalah, pergilah secepatnya dari sini!" Ki Demang Kangmas Agung jacklo mengusir Varun. "Ayo Run! kita cepat pergi dari sini," Dimas Cakra menarik lengan Varun. "Tidak Dimas, aku tak terima dengan semua ini," Varun bersikeras bertahan. Dimas nampak berbisik di telinga Varun. "Baiklah, kita mundur dulu," Varun akhirnya menurut pada Dimas. Dengan satu loncatan Varun dan Dimas menyingkir dari hadapan Ki Demang Kangmas Agung jacklo. *** Sepeninggal Varun, Ki Demang Kangmas Agung jacklo memerintah para pengawal berjaga-jaga lebih ketat lagi, dan mengutus pengawalnya untuk pergi ke kotaraja untuk meminta bantuan prajurit. *** "Apa yang terjadi dengan Varun?" aku merenung mengingat kejadian sebelumnya. Bagaimanapun Varun temanku juga, aku hanya mencoba untuk mengingatkan sikapnya yang salah. Namun Varun menganggap diriku memihak Ki Demang Rencana penyerangan ke pedukuhan di susun Varun dan Dimas. "Sudahlah Run, lebih baik kita kembali berlayar," kataku. "Ingat tujuan kita untuk ke pulau Andalas untuk mencari harta karun." Rupanya Varun sudah tidak bisa di ingatkan lagi, apalagi ada Dimas Cakra sangat mendukungnya. Varun memaksa teman-teman yang lain untuk membantu menyerang Pedukuhan. Merampok penduduk dan membuat mimpi buruk untuk Ki Demang. Aku yang sangat keberatan dengan rencana Varun jadi kesal dan memilih untuk meninggalkannya. "Tidak Bening! kau tidak boleh pergi, kau harus membantuku," bentak Varun kepadaku. "Kalau begitu kau harus mengalahkanku dalam empat jurus," kataku kesal. Aku yakin sekali kemampuanku masih di atas Varun dalam hal olah kanuragan. Dan perkelahian terjadi antara aku dan Varun. Beberapa jurus telah berlalu, aku yakin bisa mengalahkan Varun kalau saja Dimas tidak ikut mengeroyok. Perkelahian jadi tak seimbang, aku terdesak dan hampir berteriak kalah, ketika tiba-tiba sebuah bayangan menyambar tubuhku, loncat di atas kuda, berlari meninggalkan Varun dan Dimas. Ternyata seseorang telah menyelamatkan aku. Sekilas dia lelaki dengan penutup wajah, tubuhnya sangat ringan ketika menarik dan mendudukanku diatas kuda, tangan kirinya memeluk erat di pinggang. Dengan tangan kanan memegang tali kekang kuda berpacu membelah senja. Kuda itu aneh tidak seperti kuda pada umumnya, lebih besar dan tinggi dengan moncong mengeluarkan api, dan memiliki kecepatan lari yang luar biasa. Tiba di dataran lebih tinggi, pria penutup muka itu menghentikan kudanya, dengan satu gerakan cepat menurunkan aku. Ajaib kuda yang telah berlari bermil-mil itu lenyap dengan satu jentikan jari si pria dengan tutup muka itu. "Kuda apa itu!" aku tak bisa sembunyikan rasa terkejutku. "Sudah kembali ke asalnya," jawab pria dengan tutup muka itu. "Siapa kau? sudah membawaku kesini," tanyaku dengan rasa curiga, aku takut pria dengan penutup muka itu mempunyai maksud jahat. "Sudahlah, aku tak ada waktu penjelaskan semua ini." "Tunggulah disini sampai keadaan di luar aman," kata pria dengan tutup muka itu, beranjak pergi. "Hey ! tunggu dulu, siapa kamu," teriakku penasaran. "Orang-orang memanggilku Hulak-Hulik," katanya berlari menjauh, sekejab bayangannya tak nampak lagi. Aku yakin pria dengan penutup muka itu miliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. "Hulak-Hulik," aku berguman sendiri, sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Bukankah Hulak-Hulik seorang pendekar yang belakangan santer terdengar banyak melakukan penculikan kepada beberapa penduduk. Malam menghampiri, hanya cahaya bulan yang menemani. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Varun dan Dimas. Dan kantuk menghampiri. *Bumi Cerbon 12 april 2015* by Nur Yati Againt

Related Posts:

0 Response to "Nur Yati Againt"

Posting Komentar