#cerbung_crosscover Judul: Dua Nyawa yang Diburu Oleh Luthfi Luthf Bagaimana jadinya, bila tokoh-tokoh dari beberapa cerpen yang pernah saya posting di KBM saling bertemu? Misalnya yang akan terjadi pada Luthfiah si gadis cantik, Haruna si hantu cermin, Rama beserta pisau buahnya, kucing manis bernama Shinta, Mizu si manusia gumpalan air, Yuki si manusia salju, Rani yang mampu membuat ilusi, Li Yan yang jago berkelahi, Egi si pengamen, Ree dengan gitar listriknya, Gana yang selalu ditemani dua pistol di pinggang, si misterius Lilian, Za yang dijuluki prajurit salju dan Lichan, lengkap dengan ekor berbulu serta telinga kucingnya yang panjang. Tentu ini bukanlah cerpen yang biasa. Kisah ini menceritakan tentang petualangan yang rada-rada aneh. Maka saya ucapkan selamat membaca. Jangan lupa siapkan kantong plastik untuk berjaga-jaga jika cerita ini membuat anda mengeluarkan kembali nasi goreng tadi. -*- Seseorang sedang bernapas di halte. Ini bukan kali pertama, kedua, ataupun ketiga, lelaki berambut panjang lurus ini lupa, sudah beberapa kali ia duduk di sana. Membunuh putaran demi putaran jarum jam hanya untuk menanti sosok yang akan datang menunggu bus. Tidak hanya itu, sebuah kotak kecil -bila digenggam dua tangan, tertutup sempurna- juga ia lupakan, sudah berapa kali dibawa. Rama namanya. Lelaki tampan berkacamata, hidungnya mancung, kulitnya putih. Bila tubuhnya dibawa ke luar rumah sering kali berbalut jas dan celana panjang. Serba putih. Bukan bunga mawar yang selalu menemani sebagai pelengkap ketampanan, melainkan pisau buah. Setiap pasang mata kaum hawa, termasuk perempuan penumpang mobil angkot yang barusan lewat di depannya, pasti jatuh terpesona. Hanya saja, cuma satu perempuan yang akan ia kejar. Yang keberadaannya sampai sekarang belum nampak. "Hmm ...." Ia mengeluh dalam duduk. Membiarkan angin mengajak dansa sebagian helai rambutnya. Seonggok mesin beroda empat berhenti. Merampas seluruh ruang dalam jangkau pandang Rama. Ia melirik jam tangan. Ini sudah mepet. Kenapa sosok incarannya belum datang juga? "Aku pilih menetap," gumamnya tegas. Akhirnya bus itu pergi setelah memuntahkan beberapa penumpang. Telinga kanannya terusik. Ada suara langkah yang datang mendekat. Sudah tibakah. Ketika Rama menengok, "Permisi!" Malah lelaki berkulit gelap yang sedang menggendong gitar akustik. Belum sebaitpun ia bernyanyi, selembar abu-abu sudah menggantung di tangan lelaki tampan yang duduk itu. Sisi positifnya, menghemat suara. Anehnya pengamen itu enggan pergi. Malah duduk di samping Rama. "Kurang?" tanya lelaki itu sambil mengangkat sebelah alis. "Nggak. Saya cuma iri sama ketampanan Mas yang rada cantik itu," celetuk si pengamen. Lelaki berkaos hitam dan celana pendek itu adalah orang kesekian yang mengatakan Rama itu laki-laki cantik. Namun yang bersangkutan terlihat tak berpengaruh sedikitpun. "Egi." Pengamen itu menjulurkan tangan. "Rama," jawabnya disertai senyum yang khas. Tentu tak ketinggalan pula jabat tangan. "Heeeeeeyyyy!" Egi melompat hingga berdiri di atas bangku. Mulai bersiap dengan gitar akustik yang akan dipetik oleh tangan berbulu lebatnya. "Kulihat wajah tampan itu Dibaluti oleh rasa rindu Tuan puteri sedang tidur Makanlah bubuuuuuur! Hahahahahah." Nyanyian Egi benar-benar aneh. Rama setengah terkejut. Darimana dia tahu kalau dirinya sedang menunggu seseorang? "Lagu barusan, siapa penciptanya?" tanyanya basa-basi. "Saya." "Sejak kapan." "Barusan." Pengamen itu kembali tertawa setelah kembali duduk. Rama hanya menggeleng heran. Ditengah kegaringan hubungan mereka. Barulah hadir sesosok yang ditunggu-tunggu. Rok biru panjang yang ujungnya menyapu debu trotoar. Tak jauh di atasnya terdapat juntaian kerudung hitam yang lebar. Pemiliknya, berwajah oval, kedua mata sipit, cantik sekali, terlepas dari hidungnya yang di bawah standar. "Pasti yang itu," bisik Egi. "Dari mana kau ..." Rama yang biasanya tenang dan cool, mendadak gugup tak karuan. Ditambah lagi, segera meluncur kalimat salam dari Luthfiah, perempuan yang dinanti. "Wa 'alaikum salam!" jawab Rama. "Ada aku juga." Muncul wajah Rani di balik punggung Fiah. Wajar saja badannya yang kecil itu mampu bersembunyi di belakang jilbab lebar temannya. Terjadilah sebuah pertemuan antar delapan mata. Mereka sudah mendekati pintu menuju sebuah petualangan. Yang keempatnya, akan menguras tenaga lebih banyak dari biasanya. -*- Di dasar air terjun yang dangkal terdapat empat kaki berselmutkan celana bahan hitam. Bila dilihat ke atas lagi, tampaklah dada-dada bidang, lengan yang berotot, serta perut sixpack. Za dan Li Yan. Keduanya saling berhadapan dan menyiapkan kepalan tangan di depan. Konsentrasi. Sedingin apapun angin tak mampu mengelus kulit mereka. Mungkin karena terbakar semangat berkelahi. Keduanya semakin bersiap. Dan, "Hyaaaa!" mereka saling berlari mendekat. Meluncurlah pukulan-pukukan yang saling bertabrakan, tendangan yang ditangkis. Kekuatan mereka berimbang. Li Yan, lelaki yang kulitnya lebih putih melompat tinggi. Meninggalkan ratusan bulir-bulir yang berhamparan dari kakinya, berputar ke depan 360 derajat, kemudian turun membawa tendangan yang bertumpu pada tumitnya. Za tak tinggal diam. Tangannya yang berotot lebih kecil itu menangkis serangan lawan hingga tepat berhenti di dekat kepalanya. Kini ganti giliran menyerang. Ia memegang tumit kanan itu, lalu kaki kiri Li Yan yang baru saja mendarat di air langsung diterpa tendangan under cut. yaitu ayunan kaki di bawah yang -kebetulan sedang di atas air- menghasilkan cipratan bulir-bulir ke segala arah. Serangan itu tepat mengenai kaki kirinya. Sontak membuat Li Yan terjatuh. Namun sebelum badannya menghempas permukaan air, dengan cepat kedua tangan besar itu terlebih dahulu mendarat, menahan berat badannya sendiri. Kaki kirinya yang tidak dipegang Za dengan bebas meluncur ke kepala lawan. Lantas pemuda kecil itu membagi sebelah tangannya untuk menahan serangan. Jadilah sekarang kedua kaki Li Yan dikunci terkaman tangan dengan kepala di bawah.. Namun lelaki sipit itu enggan menyerah. Ia kumpulkan kekuatan, lalu berusaha melompat dengan tangan hingga berdiri di atas pundak Za layaknya cheerleaders. Sebuah kepalan tangan terjun dari atas, dengan refleks cepat Za melepas kedua kaki untuk menangkis tinju itu. Li Yan mendarat dan menjauh. Untuk kedua kalinya mereka saling berhadapan cukup lama. Akankah pertarungan dilanjutkan kembali? "Owaaaa!" Kaki Za memburu ke depan. Saat itu pula tinju ia siapkan. Ternyata pertarungan belum usai. Li Yan menghindar ke samping. Tinju berikutnya datang mengincar perut. Pukulan ketiga, keempat hingga puluhan, semua mampu dihindari. "Hep!" Tangan kanan Za ditangkap. Yang kiri menyusul namun bernasib sama, terkunci. Li Yan melempar tubuh kecil lawan ke arah batang pohon besar. Za berputar-putar di udara dan sulit mengendalikan diri. Untung saja bagian tubuh yang kontak lebih dulu dengan permukaan batang pohon adalah kakinya. Segera ia melompat dari bidang vertikal itu menuju Li Yan. "Hayaah!" Kaki kanan Za melesat. Disambut tendangan pula oleh lawan. Tarbrakan antar kaki itu seimbang dan Za mendarat dengan aman. Seolah saling mengerti, keduanya serentak menghentikan pertarungan. "Latihannya cukup untuk hari ini," tukas Li Yan "Semakin hari Koko semakin hebat!" Za menyingkirkan peluh di dahi. "Kau juga banyak perkembangan." Li Yan meninggalkan sungai dangkal, menuju seonggok ransel yang bersandar di pohon. "Tapi jangan sok jadi jagoan." "Koko, atas nama keadilan, akan kukerahkan seluruh tenagaku melawan musuh! Ha!" sebilah tangan meninju langit. "Aduh! Zaaa ..., Za, Keadilan mulu bicaranya." Wajah yang berada di tepian menghilang karena tertutup handuk. "Za, sampai kapan kau terus-terusan di air. Nanti masuk angin." "Aku kan di air, bukan di angin. Jadi takkan masuk angin. Yang adil dong bicaranya." Za menghampiri lalu membungkuk demi kesopanan dalam mensejajarkan wajah dengan Li Yan yang sedang duduk. "Sekarang saja ya, mencari hotelnya. Makin cepat menemukannya, makin besar waktu yang tersisa untuk mempersiapkan diri. Adil, kan?" "Hmm ... semangat muda." Li Yan menggeleng namun setuju. 3 jam berlalu. Tibalah mereka di sebuah halte dengan pakaian baru. Pakaian lama? Sudah basah dan disimpan dalam ransel masing-masing. Minggu depan sebuah turnamen bela diri akan mereka ikuti. Sudah jauh-jauh hari sepasang guru-murid itu menambah porsi jam latihan, agar membuahkan hasil yang memuaskan pada ajang bergengsi itu. Seunit mobil bus hadir pada dua pasang mata sipit dan normal itu. Mereka masuk dan duduk paling belakang. Tepat di depan dan sebelah mereka, penumpang berhijab, berjas putih dan satu lagi, gaun biru bermotif. Di tengah-tengah ruang mobil, berdiri seorang pengamen. -*- Seorang gadis sedang berlari melewati pohon-pohon lebat. Kimono-nya yang panjang menyulitkan pergerakan kaki kecil itu. Bukan tanpa alasan, di belakang ada yang mengejar. Beberapa orang. Walau masih jauh bukan berarti ada waktu baginya untuk istirahat. Semakin lama semakin kecil jarak mereka. "Meong!" ucap Shinta, kucing berbulu putih yang menemani pelariannya. "Iya. Tapi ...," bicara saja rasanya sulit akibat terengah-engah, "ini sudah ... secepat yang aku bisa." Namanya Lichan. Gadis kecil bertelinga kucing yang memiliki kekuatan mistis. Makanya ia dikejar-kejar karena mereka ingin mengincar kekuatan yang ada di dalam tubuh berpakaian sian itu. Sebongkah batu kecil yang bersembunyi di antara rumput, luput dari mata bulatnya. "Aduh!" jerit Lichan setelah melayang lalu jatuh. Wajah mungilnya menyium tanah. "Meong!" Shinta menoleh. "Aku baik-baik saja." Dengan sangat terpaksa Lichan harus berlari sejauh ini. Padahal beberapa jam lalu ia sedang asyik dalam kamar tidurnya ditemani secangkir teh. Namun ia harus berterimakasih pada Shinta. Kalau bukan karena kucing itu yang datang memberitahu akan adanya kejahatan yang akan menimpa gadis itu. Awalnya si kucing pergi jauh ke luar rumah, lalu mendapati tiga orang sedang berdiskusi. Tanpa sengaja telinga panjangnya menguping. "Bocah itu bernama Lichan. Walau hanya perempuan kecil, namun kekuatannya sangat besar. Kita bawa dia ke markas gua lalu hisap kekuatannya hingga habis. Terakhir, kita persembahkan mayatnya kepada patung di dalam sana," jelas salah seorang panjang lebar. "Kau tahu rumahnya?" tanya yang lain. "Aku tahu!" potong seorang lagi. Shinta terperanjat. Tak ada waktu lagi untuk mendengar percakapan itu. Semua sudah jelas, mereka ingin menculik Lichan. Segera keempat kakinya bergerak pulang secepat mungkin. Kembali ke suasana di hutan. Shinta mulai bisa mendengar langkah mereka. "Meong!" Giginya berusaha menarik-narik kelingking majikannya untuk bangun. "Aduh! Iya, Shinta." Lichan berusaha bangkit. Telinganya juga dikunjungi suara langkah memburu. Apalah daya, gadis kecil tetaplah gadis kecil, bukan pelari cepat. Pasti ia akan tertangkap. Ketika mengambil satu langkah, rasa sakit menyerang. "Aduh!" Lichan mengangkat sedikit kimono-nya. Ternyata lututnya berdarah. Jurus penyembuhan. Gadis kecil itu menempatkan kedua telapak tangannya ke sumber luka. Tutup mata dan konsentrasi. Muncul cahaya sian yang terpancar dari tangan. Perlahan luapan cairan merah itu mengering dan lukanya tertutup kembali. Sembuhlah ia. "Ayo, Shinta. Lari lagi!" Sebenarnya mereka tak memiliki tempat tujuan yang tergambar di kepala. Hanya berusaha berlari dan menajuh. Di rumah sudah tidak aman lagi karena ada yang mengetahuinya. Lalu sampai kapan mereka menyisir hutan seperti itu? Tiba-tiba dari belakang meluncur sebuah telapak tangan yang menerkam pundak Lichan. "Ah! Aku tidak bisa bergerak," lirihnya berusaha melepas tangan asing itu. Pemiliknya segera muncul dari kejauhan. Seorang wanita, penampilannya berusia 30-an. Rambut panjang sebahu, berpakaian kemeja dan rok layaknya seorang pekerja kantor. Mata sebelah kirinya berwarna merah menyala. Sedari tadi ia mengangkat lengan kanan ke depan yang ujungnya berupa sambungan besi sepanjang 20 meter. Ternyata tangan panjang di pundak Lichan milik perempuan aneh itu. "Lepaskan!" teriak Lichan. "Meong!" Shinta datang menolong. Ia lompat lalu menggigit tangan itu hingga terlepas. Akhirnya lengan panjang berbahan besi itu kembali ke ukuran normal, namun terdapat percikan listrik akibat gigitan Shinta. Dua orang lainnya ikut hadir. Sesosok pria muda berjubah merah yang menggenggam pistol, lainnya bernama Ree, seorang wanita rocker lengkap dengan gitar listriknya. "Meong!" Shinta berdiri menghadang. "Jangan, Shin. Mustahil kamu bisa mengalahkan mereka bertiga." Lichan menggendong kucingnya lalu berpindah tatapan ke arah tiga orang asing itu. "Untuk apa kalian mengejarku?" Yang satu-satunya pria muda di sana menodong pistol. "Yo! Kalau anda mematuhi baik-baik, nyawamu akan selamat." Segera senjata api itu ditepis oleh Ree. "Bodoh! Jangan dibunuh dulu," bisik bibir hitamnya geram. "Kalian ini!" sungut Lillian menoleh ke belakang. "Lichan, tetap berdiri di sana. Jangan kabur." Ia berjalan mendekat. "Kalian belum menjawab pertanyaanku! Kenapa kalian mengejarku?" Kaki kecil gadis itu mundur seiring langkah maju Lillian. Mundur terus, mundur terus. "Diam di tempat!" bentak Lillian. "Jawab pertanyaanku!" Nada si gadis kecil semakin meninggi. Tak ada kalimat jawaban yang diinginkan. Lillian tetap memperkecil jarak mereka hingga tersisa 7 meter. "Jangan mendekat!" Lichan yang tertunduk mulai melihat ujung kaki berhak tinggi Lillian itu. Semakin lama semakin dekat. Kemudian gadis kecil itu kembali berjalan mundur hingga terpaksa ia berhenti setelah punggungnya membentur pohon besar. Tersudutlah sudah. Rasanya mustahil bila berlari. Mereka pasti mengejar. Bahkan mungkin pria yang berdiri paling belakang itu langsung menembak mati. "Menjauh!" Lichan jongkok seraya memeluk Shinta. "Aku tidak mau ikut kalian." "Hmh! Anak cengeng." Lillian semakin dekat. Tamu tak diundang datang. Seutas cambuk yang terbuat dari air melesat hingga melilit leher Lillian. "Aaahhh!" Ia berusaha melepaskan diri. Kepalanya tersengat percikan listrik. Mata kiri merah itu menyala kedap-kedip. "Akan kubuat kau koslet!" tukas seseorang di atas pohon, manusia berkulit transparan bagaikan air. Nada suaranya terdengar aneh seperti seorang penjahat di televisi yang suaranya disamarkan menyerupai anak kecil. "Kita sama-sama bertangan panjang. Tapi kau robot sedangkan aku air. Aku bisa mengalahkanmu dengan mudah." "Tak semudah itu, Yo!" Gana yang berpistol itu melepaskan beberapa peluru. "Oh Ow!" Si manusia air terpaksa menghentikan cekikan jarak jauh lalu turun dari pohon. Bulir air menyembul dari mata Lichan kala mendengar suara tembakan. Perasaan takut menghujani hatinya. Shinta pun semakin sulit bernapas karena pelukan yang semakin erat. "Siapa kau?" tanya Lillian seraya memegangi kepala. Pasti dia rusak parah. "Aku adalah Mizu. Nama yang mudah diingat, kan?" Ia menegakkan cara berdirinya. "Bukan manusia, bukan hewan. Aku hanyalah air yang bisa bergerak." Ditutup dengan tawa. "Lillian, dia bukan lawan yang cocok untukmu." Ree berpindah membelakangi lawan bicara. "Water " Seiringnya ucapan Mizu itu, terbentuk dinding air yang berasal dari rumput dan batang pohon. Kedua kubu terpisah. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk membawa kabur Lichan dan Shinta. "Meong!" Si makhluk berbulu berontak kala ingin disentuh Mizu. "Kata Shinta ia bisa berlari sendiri," ujar Lichan. Akhirnya mereka terbebas. Paling tidak untuk saat ini. -*- "Kalau gak salah di hutan ini tempatnya," ujar Rani. Sekarang mereka berada di tempat yang jauh dari pemukiman, setelah turun dari bis dan berpisah dari Egi. Kemudian berjalan jauh selama 1 jam ke tempat ini. "Kau yakin?" Rama mengernyitkan dahi. "Gak salah lagi." Ketiganya memasuki lebih dalam lagi hingga mentari tak mampu menemukan mereka. Sejauh pandangan mereka hanya berdiri batang-batang pohon besar. Dedaun di atas menutup sempurna bak atap rumah. Gelapnya serupa malam hari. "Berhenti!" Rani yang berada di paling depan merentangkan sebelah tangan, menghalangi dua orang di belakang. "Kalian dengar sesuatu?" Alis Fiah hampir menyatu di dahi. Suara apa? Ia yakin tak ada apapun yang mengusik gendang telinga di balik kerudungnya. Begitupun lelaki di sebelah. Semua tampak menoleh ke sana ke mari. Hingga akhirnya spontan menengok ke arah jeritan yang baru saja meledak. Salah satu tubuh dikurung dalam gelembung raksasa dan melayang di udara. Walaupun terlihat tipis dan transparan, tapi tak mampu membebaskan diri. "Fiah!" Rama mendongak. "Mengapa kau bisa ...." "Berisik!" Rani mendadak berubah drastis dalam menatap lelaki itu lalu mendorongnya dengan kasar. Mulut seseorang yang terjatuh di tanah berrumput sedikit terbuka. Pikirannya terkuras habis oleh sebuah pertanyaan. Ada apa dengan Rani? Namun gadis yang membingungkan itu malah tertawa lebar. "Kaget, ya?" tanyanya dengan nada mengejek. "Kenapa, Rani?" Rama memancarkan raut wajah tak percaya. Sesekali ia melirik Fiah di ketinggian 6 meter itu. Bibir ranum itu terbuka tapi teriakan minta tolongnya sama sekali tak terdengar. "Diam kau, bawel. Aku cuma mau bawa perempuan ini pergi." Rani tersenyum sinis. "Jangan paksa aku gunakan kekerasan." Rama mengepalkan tangan sambil berlari mendekat. "Hyaaaaat!" Namun langkah cepat penuh amarah itu segera terhenti setelah kakinya hampir dihunjam oleh empat butir peluru. "Yoho!" Keluar sosok Gana dari balik banyaknya batang-batang pohon. Pistolnya kini mengarah ke wajah Rama. Lebih tepatnya di bagian dahi. "Maju selangkah, dor!" "Let's rock!" Ree datang menyusul. Dari sebuah genangan air yang memantulkan gambar muncul Haruna, hantu cermin bergaun lebar serba putih. "Akhirnya ada mangsa." Dan satu musuh lagi. Kehadirannya selalu diawali embusan angin yang sangat dingin. Dialah Yuki, manusia salju yang bisa bergerak. Bentuknya lumayan seksi. "Hanya dapat satu?". "Lichan berhasil kabur," ujar Gana tanpa mengubah sedikitpun posisi senjatanya. "Mana Lillian?" lanjut Yuki bertanya. "Dia sedang diperbaiki." Rama menatap satu per satu musuh di hadapan. Dia kalah jumlah, tak sedikitpun kesempatan menang ia punya. Lalu apa yang sebaiknya dia lakukan? Nyawanya, juga nyawa Fiah dalam bahaya. Bersambung. by Luthfi Luthf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Luthfi Luthf"
Posting Komentar