Sebelum membaca tulisan ini, ada baiknya kalian semua gue peringatkan. Konten tulisan ini sensitif, menyinggung keyakinan. Ada kemungkinan keyakinan kalian akan goyah setelah membaca tulisan ini. Jadi berhati-hatilah. Pagi itu, tepatnya Sabtu pukul 06.00 WIB, berlokasi di sebuah kompleks perumahan di daerah Pekayon – Bekasi, terlihatlah dua orang pemuda yang sedang duduk. Selanjutnya kita sebut saja mereka S dan M. Eit, ini bukan inisial perusahaan rekaman korea. Jadi jangan girang dulu kalian wahai kaum hawa. Pada umumnya kegiatan pagi hari seorang manusia seusai bangun tidur adalah mencari 3 hal berikut ini: toilet, handphone, dan sarapan. Kebetulan kedua orang tersebut sedang mencari sarapan. Namun karena terlalu malas bergerak dari sofa di ruang tamu, akhirnya mereka memutuskan untuk duduk dan menanti keajaiban. Puji Tuhan, tak lama kemudian tukang bubur ayam keliling lewat dengan manisnya. Kedua pemuda tersebut akhirnya membeli masing-masing semangkok buryam alias bubur ayam tadi dan segera duduk di teras untuk makan. Semuanya senang hingga akhirnya tragedi itu pun datang. M: “Bubur lo gak diaduk, Bray?” S: “Hah? Buat apaan diaduk? Emangnya semen…” M: “Loh, haruslah. Biar semuanya kecampur rata!” S: “Ah, jadinya gak enak dilihat tauk. Gak karu-karuan bentuknya!” Dari percakapan yang hampir berujung ke acara gelut mulut di atas, kita bisa memahami bahwa di dunia ini perbedaan konsep itu nyata, bahkan di perkara-perkara kecil. Yin dan Yang. Hitam dan Putih. Diaduk dan Tidak Diaduk. Well, gue pribadi termasuk dalam faksi bubur tidak diaduk. YA, BUBUR AYAM TIDAK PERLU DIADUK. Perlu gue tekankan di sini bahwa ini adalah keyakinan yang gue pegang sejak bertemu makanan yang bernama bubur ayam. Tanpa paksaan dan sadar secara utuh. Kenapa BUBUR AYAM TIDAK DIADUK? Simpel. Kalo lo perhatiin proses ketika bubur ayam diracik, lo akan sadar semua itu sudah ada tatanannya. Ibarat kata anak sosiologi, sudah ada strata sosialnya. Buburnya dulu; Dikecrot kuah kaldu; Dikasih suwiran ayam, seledri, dan kacang; Diselimuti kecap manis; Diakhiri kerupuk. Lo perhatiin stratanya, itu udah sempurna banget. Ketika lo menyendok itu bubur, yang lo dapet adalah rasa dari susunan yang hakiki. Buat apaan lagi diaduk? Bubur ayam bukan ketoprak, apalagi kopi. Diaduk hanya akan menghilangkan keindahan si bubur. Lo ngerusak seni!!! Kalo kita tengok dengan kacamata sosial, bubur yang ada di bagian bawah dan berjumlah banyak merupakan gambaran kaum proletar; kelihatannya sepele tapi mereka adalah dasar kekuatan yang sesungguhnya. Selanjutnya ada suwiran ayam, seledri, dan taburan kacang yang termasuk dalam middle class: mereka memberikan pengaruh cita rasa ke atas dan ke bawah. Akan tetapi walaupun penting, perlu dicatat bahwa keberadaan mereka bukanlah yang utama, bahkan bisa ditiadakan sama sekali kalau alam (baca: sang penikmat buryam) menghendakinya. Terakhir pada bagian atas ada curahan kecap manis yang disambut oleh kerupuk, mereka adalah upper class, kaum fancy dalam hidup ini. Namun ingat, tidak akan ada kenikmatan yang tercipta jika kecap dan kerupuk ditaruh terlalu banyak. Secukupnya saja. Paham dengan penjelasan di atas? Jika iya, kita lanjutkan dengan hubungan penjabaran di atas dengan alasan kenapa bubur ayam tidak perlu diaduk. Susunan kelas yang sudah sempurna itu jika kita aduk akan menimbulkan kegamangan bahkan chaos. Bayangkan kerupuk yang kodratnya berbunyi kriuk ketika dimakan akan hilang esensinya ketika bercampur dengan bubur yang diaduk. Melempem. Tidak berdaya. Tampilan bubur ayam yang awalnya indah dan instagram-able mendadak tampak seperti seonggok gumpalan yang porak poranda. Sungguh tak sedap dipandang. Semua sudah ada takarannya, semua sudah ada posisinya, untuk apa lagi diaduk-aduk? Ingat, BUBUR AYAM TIDAK DIADUK. Buat semua orang yang meyakini bubur ayam itu diaduk, bersyukurlah bahwasanya Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Segeralah tobat sebelum terlambat. by Fajar Bekti Kuncara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Fajar Bekti Kuncara"
Posting Komentar