HARGA SEBUAH KEPUTUSAN Afina Yasmine “Saya terima nikahnya Yayang Ira binti Abdul Aziz dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” jawab mas Azizul dengan mantap di hadapan penghulu dan para tamu. “Saah?” tanya penghulu. “Saaaaah.” Para tamu pun serentak menjawab dengan penuh semangat. Suara lantang mereka seakan-akan mampu merobohkan atap rumah kecil keluarga Abdul Aziz. Mbah Kyai pun segera memimpin doa. Pernikahanku pernikahan sederhana, maharnya pun bukan intan permata. Seperangkat alat sholat kuterima dengan bahagia. Kuingat saat kami mendiskusikan mengenai mahar yang akan aku terima, sebaik-baik perhiasan di dunia adalah wanita salehah, katanya waktu itu. Menurutnya “Yayang Ira” telah memenuhi kriteria itu, sontak meronalah pipiku. Malu. Bagaimana tidak, mas Azizul mengucapkannya di depan ayah dan ibu. Sebenarnya bukan itu alasan utama pria bermuka manis ini, hanya memberikan mahar seperangkat alat sholat. Bukan pula karena dia tak mampu. Selepas pernikahan dia ingin memboyongku ke ujung timur Indonesia, Papua. Dia telah bekerja sebagai abdi negara di sana. Sedangkan saat itu, aku belum mempunyai penghasilan, baru lulus dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama. Hanya berselang satu minggu dari hari pernikahan itu, kami harus pindah ke bumi cenderawasih. Mulai hari itu aku bertekad menjadi istri terbaik untuk dia yang telah bertanggung jawab atas hidupku. Kusiapkan sebuah buku catatan yang diperlukan, “BAHAGIA BERSAMAMU” sengaja kutulis di halaman terdepan. Tak menunggu lama, tiga bulan pernikahan, kabar bahagia pun datang. Tuhan memberikan amanah untuk kami, menjadi orang tua. Mas Azizul bertambah romantis, sesekali dia pulang saat makan siang, membawakan siomay kesukaanku. Masa kehamilanku memasuki tujuh bulan, “Yang, kamu melahirkan di sini saja ya? Nanti biar ibu yang menemani,” ucap mas Azizul mengawali diskusi “Mas masih ada proyek yang harus diselesaikan.”. Ketika mas Azizul mengucap kata ibu, berarti yang dia maksud ibuku. Sedangkan mama dan papa adalah panggilanku kepada mertua. “Tapi, Mas,” belum selesai kalimat kuucapkan, mas Azizul sudah menimpali, “semua fasilitas di sini sudah lengkap, Yang. Dokter hebat juga tersedia. Yakinlah, semuanya akan berjalan lancar!” Lelaki berkacamata ini sudah mulai mengeluarkan jurus andalannya yang harus kujawab dengan sebuah anggukan kepala. Usia putra pertamaku satu tahun, saat kami memutuskan untuk mengunjungi mama dan papa. Pesawat yang kami tumpangi berhasil mendarat dengan sukses di bandara I Gusti Ngurah Rai. Diluar dugaanku mama dan papa menjemput kami. Memang sudah rahasia umum, kalau mama dan aku sedikit tidak cocok. Lampu merah itu, menghentikan laju mobil yang kami tumpangi. Seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun yang menenteng tas kerja menyeberang di depan mobil kami. Tampaknya dia seorang pekerja. “Ziz, harusnya wanita yang seperti itu yang kamu nikahi,” ucap mama. Pria di sampingku tak menjawab, dia lebih memilih sibuk dengan tabnya. Aku tahu dia hanya pura-pura sibuk, agar pembicaraan ini tidak berlanjut. Mama memang terobsesi untuk memiliki seorang menantu yang mempunyai pekerjaan. “Ziz, kamu dengar mama?” “Eh, ada apa Ma?” “Ah, lupakan.” Mama menghela nafas dalam. Begitulah cara dia menjaga hatiku. Pernah suatu hari aku lelah menghadapi mama, aku pun protes padanya. “Seorang mama itu telah merawat lelaki yang kini merawatmu, Yang. Mungkin beliau mulai menua, kamu harus sabar ya. Mamaku itu juga ibumu, Sayang,” ucapnya suatu hari. Tanpa terasa sepuluh hari sudah aku di Pulau Dewata. Saatnya berkemas untuk kembali pulang. Kucium tangan mama dan papa. “Pa, Ma, Ira balik dulu. Papa dan Mama jaga diri, jaga kesehatan ya,” kata yang terucap dari bibirku saat pergi meninggalkan mereka. Sebuah lambaian tangan mengantarkan kepergian kami. Pernikahan kami memasuki usia ketiga, dengan perlahan kuberanikan bertanya pada mas Azizul, “Mas, bolehkah aku bekerja?” Mas Azizul mengalihkan tatapan dari layar ke mata sayuku. “Yang, kenapa kamu ingin bekerja? Kamu masih memikirkan kata-kata mama? Kamu ingin membuktikan bahwa kamu juga bisa bekerja?” “Bukan, bukan begitu, Mas. Yang mulai bosan di rumah. Yang ingin memanfaatkan ijazah yang kumiliki.” “Baiklah, kau boleh bekerja. Tapi jangan pernah telantarkan dia.” Telunjuk itu mengarah pada anak kami yang sedang tertidur pulas di ranjangnya. “Terima kasih, Mas,” jawabku seraya menciumnya lengkap. Akhirnya aku punya pekerjaan baru, day care menjadi pilihanku untuk melaksanakan syarat dari mas Azizul. Ternyata waktu tiga tahun tidak cukup untuk memahami semua sifat mas Azizul. Aku mulai sadar ketika kukirim sebuah pesan singkat menanyakan apakah dia sudah makan siang. Satu menit, dua menit, bahkan satu jam telah berlalu. Tidak ada jawaban. “Mas, pesan Yang masuk kan?” tanyaku. “Iya, masuk. Kenapa, Yang?” Diapun balik bertanya. “Kok tidak dibalas? Mas sibukkah?” “Tidak juga Yang. Mas sudah gede, untuk masalah makan masak juga harus diingatkan? Mas akan makan kalau lapar.” jawabnya. “Oo,” Aku hanya bisa bilang seperti itu. Sifat mas Azizul berbeda seratus delapan puluh derajat denganku, mengenai romantisme. Celakanya itu yang kuinginkan sekarang. Mungkin aku mulai terpengaruh dengan cerita romantis pernikahan teman sekantor. Orang bilang agar suatu pernikahan romantis maka salah satu harus memulainya. Kejutan-kejutan kecil mulai kuberikan untuknya, setiap tanggal pernikahan kami aku menyiapkan sebuah acara. Sambil kupersiapkan sebuah kejutan besar di hari ulang tahunnya, nanti. Masih ada enam bulan, pikirku. Sorong, 31 Juli Minggu pagi, mentari bersinar cerah, burung-burung berkicau dengan suara indah. Mas Azizul masih berlari-lari mengitari komplek, hari ini aku izin tidak menemaninya. Sakit kujadikan alasan utama. Tak ada kata khawatir dari mulutnya, mungkin karena aku masih melakukan aktifitas seperti biasa. Setelah ini mas Azizul pasti berubah, batinku. “Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat panjang umur kita kan doakan. Selamat sejahtera sehat sentosa. Selamat panjang umur dan bahagia.” “Tiup lilinnya. Tiup lilinnya, “ belum selesai kami menyanyikan lagu, suara bariton mas Azizul mengagetkan kami berdua, “apa-apan ini Ma? Ayah tidak suka!” Sakit. Enam bulan aku berusaha membuat kue untuknya tidak dihargai, terlebih aku dibentaknya di hadapan putra kecil kami. Aku mulai berpikir dia juga tidak menghargai semua aktifitas yang kulakukan untuknya. Aku merasa dia hanya melihatku sebagai pelengkap di kala malamya. Aku akan melakukan protes, batinku. Putra pertama kami, kuungsikan di rumah sepupuku. Keesokan harinya, aku tak mau memasak untuknya. Kudiamkan dia tak kusapa. Pulang kerja pun menjadi sesuka hatiku. Diapun tak menghubungiku sama sekali. Seminggu sudah aku melakukan aksi protes ini, dia mulai tidak nyaman. “Yang, maumu apa sih?” “ Mas tidak merasa bersalah?” “Masih seputar kue ulang tahun?” “Mas tidak pernah menghargai Yang. Mas tidak pernah mau berubah. Egois. Sekarang aku yang bertanya, mau mas apa?” “Yang, bagaimana kamu bisa menganggap mas egois. Mas bekerja untukmu. Hanya karena itu kue ulang tahun mas kamu diamkan seminggu. Sekarang siapa yang egois?” “Mas, Yang tak hanya butuh uang. Yang juga butuh perhatian. Nyaris dua tahun Mas, Yang sudah bersabar. Enam bulan Yang mempersiapkan yang Mas bilang hanya sekedar kue. Yang lelah, Mas!” “Jadi, Yang lelah. Mas tidak akan bisa berubah. Mungkin di luar sana ada lelaki yang lebih baik untukmu Yang. Dia bisa menjadi seperti apa yang engkau mau. Dia yang akan selalu memperhatikanmu. Sebaiknya kita berpisah Yang!” Deg. Jantungku terasa lebih cepat terpacu. Marah tidak tertahankan. Semudah itu mas Azizul mengucapkan kata perpisahan. “Ok. Kalau itu yang Mas mau. Lagian Yang juga masih muda. Siapkan surat cerai!” Aku menjawab tantangan mas Azizul. Panggilan demi panggilan kami datangi, sidang demi sidang kami lewati, bahkan sidang mediasi tidak bisa memutuskan keinginan kami untuk berpisah. Talak telah terikrakan, akta cerai akhirnya dalam genggaman. Lima tahun pertama gagal kami jalani. Kami resmi berpisah. Hak asuh anak berada di tanganku. Satu minggu, dua minggu berjalan aman. Tanpa gangguan, tanpa beban. Namun tidak dengan putra kecilku, pertanyaan yang sama dilontarkan setiap hari. “Di mana ayah? Ayah kok tidak pernah pulang, Bund?” Pertanyaan yang sulit untuk kujawab. Pertanyaan yang mampu membuatku mulai merasakan kehilangan. Kehilangan sosok bijak, tempat bermanja yang pernah mendampingi kehidupanku. Terlebih kehilangan kebiasaan pagiku. Menyiapkan sarapan pagi, menyeduh kopi, dan obrolan mengawali hari. Aah, jangan tanyakan betapa sakitnya aku. Bahkan sakit itu mulai menghampiri fisikku. Rasa sakit itu tak cukup hanya melandaku, putra kecilku tak luput dari serangan. Kerinduan pada ayahnya membuat dia demam tak berkesudahan. Segera kukeluarkan mobil untuk membawanya ke rumah sakit. “Ayah… Yah… Ayah…” Igauan yang keluar dari mulut kecilnya. Sedangkan di tangan, jarum infus menancap menambah sakitnya. Kupencet nomor teleponnya. “Assalamu’alaikum” kudengar suaranya di seberang. Suara yang kurindukan. “Wa’alaikum salam. Putramu dirawat di rumah sakit Nirmala.” Selang tak berapa lama dia telah datang, namak lebih kurus dan tak terawat. Dengan langkah tergesa dia memasuki ruang perawatan putra kami. Entahlah, kaki ini tak mampu melangkah, aku hanya bisa menatapnya dari balik jendela. Putra kecilku tersenyum, sedangkan dia menangis. Kulihat tangan anak kecil itu mengusap pipi ayahnya, menghilangkan bulir air mata. Dan aku, mengusap pipi dengan kedua tanganku. Aku pun menangis pilu. Bayang-bayang kejadian waktu itu, menari-nari dalam otak. Berpikir keras atas sebuah keputusan yang kuambil di masa lalu. Salahkah aku? Malang, 19 Maret 2015 cc: Eyang Prawiro Toko Asma Nadia, Wiraswesti, Kayla Mubara, Tri Ati, Rizki Fuji, Richie Permana Ardiansyah, Eyang Harianto Sutrisno, Dinu Chan, Vera Yuniar, Muqoddasah, Adin Neferu, Aziz Affan AhaQi, Yuneet Senjakala, Adnando Syafiq, Salmah Lukmana, Diana Dien by Dwi Masrokhah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Dwi Masrokhah"
Posting Komentar