Dinu Chan

#Tantangan_Babak_Konser_Stage_II (Menuju Top 10) Buat cerpen Sad Ending, yang kalau habis baca pembaca ngamuk-ngamuk. Penuhi halaman ini. Tema Keluarga (Tokoh utama, Azizul dan Yayang Ira, diharamkan ada kematian dalam tantangan kali ini) ===================================================== Gelinjang Bayang Oleh: Dini Nurhayati Geger Kalong, Bandung. Pukul 03:15 dini hari. Jari-jari pria itu lincah berdansa di atas keyboard. Lalu tiba-tiba menjeda. Tepat pada kata senja yang baru usai ia rangkai. Dilemparnya tatap netra pada sesosok berwajah bulat yang tengah pulas. Ia menghela napas lagi. Kemudian terdengar desahan berat dari kerongkongannya. Rampung menggeleng keras, ia lanjutkan menekan tuts-tuts keyboard. Baru sekian menit, gerakan itu berhenti kembali. Kali ini tersebab ada pesan masuk di ponsel. *** “Bangun, Yayang … sudah hampir Shubuh.” Azizul menepuk lembut pipi tembam sang istri. Ira—yang kepalanya dipenuhi dengan rol rambut, hanya melenguh. “Hari ini kamu ada jadwal dampingi Abah, kan?” Mujarab. Ira terlonjak seketika. Matanya menyipit ke arah jam dinding. Pukul empat lewat lima belas menit. Lekas disambarnya handuk, menghilang di balik pintu kamar mandi. Sementara Azizul—yang sejak pukul sembilan malam belum tidur—justru mulai terserang kantuk. Ada sebentuk siluet, mampir di mimpi sekejap lelaki berambut lurus belah tengah tersebut. Siluet yang sama. Selalu. Dan saat tangannya hendak meraih rambut spiral bergelombang itu, satu telapak dingin terasa menekan-nekan pipinya. Bayangan pun buyar. “Pasti ngelembur lagi semalam. Sholat Shubuh dulu …,” tukas Ira seraya mendekati lemari pakaian. Aroma segar sabun mandi dan shampo menguar dari tubuhnya. Sampai pula ke ujung hidung bangir sang suami. “Hmmm,” sahut Azizul malas, meski matanya sudah terbuka sebab udara Bandung yang dingin. “Eh, Yang … aku diminta big boss pindah ke kantor penerbit yang di Jakarta. Barangkali sekaranglah saatnya untuk mandiri …,” Ira termangu, menunggu kelanjutan kalimat suaminya yang tampak belum selesai, “soal tempat, sudah dicarikan sama kantor. Tinggal tunggu kabar lanjutan untuk alamatnya.“ “Kang Zul serius?” ucap Ira akhirnya. Azizul mengangguk. “Kabari Abah dan Ibu sesegera mungkin, kalau begitu. Jika perlu, hari ini juga.” Senyum Azizul terkembang mendengar tutur sang istri. Cup! Satu kecupan mendarat di kening Ira. Bersamaan dengan tubuh Azizul yang beranjak. Tiga tahun lalu, seorang kyai menawarkan putri semata wayangnya untuk dipersunting, kepada satu bujang. Seorang penulis sekaligus editor dari penerbit ternama. Penulis itu mulanya menjadi penyambung lidah si pemilik penerbit, yang hendak menuliskan kisah perkembangan pesantren kecil di bilangan Geger Kalong hingga menjadi besar. Azizul bujang bagai menemukan oase di tengah gurun gersang. Keinginan untuk menikah sudah mengusik jiwanya memang. Maka, tawaran pun ia sambut. Berharap dengan itu pula, sejejak akan satu bayang akan pergi melayang. Dan, memperistri seorang putri kyai ternama … aduhai, bak tertimpa lampu wasiat Aladdin—tokoh favoritnya sejak kecil. Melalui Ira, keinginannya selalu dapat terkabul. Terkecuali soal tempat tinggal. Kyai bersikukuh agar Azizul dan Ira tinggal di dekat lingkungan pesantren. Agar Ira juga tetap dapat membantu sang ayah mendampingi santri-santri. Meski disediakan rumah terpisah, rasa risih tetap ada. Plus dibayangi nama besar mertua, juga menambah tak nyaman. Berangsur, keasyikan akan ‘lampu wasiat’ menyurut. Lalu sekarang, pucuk dicinta ulam tiba. Azizul dipindahtugaskan ke Jakarta. Paska restu didapat, dua minggu berikutnya Azizul dan Ira menuju alamat rumah yang sudah disiapkan. Rumah asri dan sederhana di kawasan komplek yang tak terlalu jauh dari Stasiun Gambir. Cukup strategis untuk mobilisasi Azizul. *** “Akang sedang memikirkan apa?” Ira menghampiri suaminya yang sedang menatap langit sore di bibir pintu. “Di Bandung atau Jakarta, bayangan senja selalu sama indahnya.” “Ituuu … kalimat yang akan ditulis dalam novel Akang?” Azizul masuk ke dalam, tersenyum, mata sipitnya mengerjap sekali. “Hasil test-pack terbaru bagaimana, Yang?” Topik pembicaraan diubah. Ira masih di ambang pintu, menggeleng lemah. Berbanding lurus dengan kerucut bibir sang suami. Malamnya, mimpi memutar ulang satu fragmen. Azizul terbangun. Keringat sudah membulir di kening. Seakan mendapat wangsit, ia bergegas mengaktifkan jaringan internet, meluncur ke laman ‘google’. Mengetikkan dua kata di sana: Senja Kamila. Ingatan bahwa sosok itu teramat menyukai menulis segala catatan di blog, menyemaikan satu harap di hati, ada satu alamat bertuliskan dua kata tadi. Nihil. Tak ada blog bernama itu. Tapi … ‘facebook’ ada. Maka, di pertengahan malam, Azizul sibuk menelusuri akun temuannya. Dari foto profil dan kronologi, ia tahu jika ‘feeling’-nya tak salah. Sungging di bibir pun semakin panjang, tatkala diketahui pemilik bayang yang senantiasa menghiasi malamnya itu tinggal pula di Jakarta. ‘Kebetulan aneh yang indah’. Gumam Azizul. Kalbunya riang bukan kepalang. Tanpa perlu banyak berpikir, ia klik ‘chat inbox’. Lagi-lagi keberuntungan menyelimuti malam yang semakin larut. Bulatan kecil di ujung kiri itu berwarna hijau. *** Langit pagi biru muda memesona. Selaras dengan rona yang memenuhi hati Azizul. “Akang semangat sekali …,” Ira mencium punggung tangan lelaki yang sudah rapi lebih pagi dari biasanya. Memerhatikan gerak-gerik yang enerjik. “Ahhh …, iya lah …,” Azizul menjawil hidung jambu sang istri—yang kemudian meringis beriring senyum simpul—lalu pada rambutnya yang berombak mekar. Proses pengeritingan itu tampaknya gagal lagi. Ira selalu memaksa, mencoba mengeriting rambut lurusnya hanya dengan rol rambut. Maksudnya agar terlihat alami, juga tak perlu ada biaya yang keluar seperti bila harus ke salon. Padahal Azizul sudah berulang kali menawarkannya, kalau-kalau Ira ingin ditemani ke salon khusus wanita. Tapi Ira yang terbiasa sederhana tak pernah mau. Sejak kecil, meski hidup berkecukupan, orangtuanya kerap menanamkan prinsip agar tidak menghamburkan harta untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Lebih baik dialihkan untuk membantu orang yang kesulitan. Jadi, termasuk program mengeriting rambut pun, Ira kira masih bisa diusahakan dengan rol rambut saja. Ia sungguh ingin menyenangkan hati Azizul, yang pernah berkata jika suaminya itu senang dengan rambut keriting. Minimal itu dulu. Batin wanita yang senang dengan jilbab berwarna gelap tersebut satu ketika. Hatinya sebetulnya sudah cukup resah, karena belum juga dipercayai kehadiran seorang anak oleh Sang Pencipta. Sejak pagi itu, Ira merasakan ada perubahan pada diri suaminya. Tapi prasangkanya selalu berkata, barangkali karena suasana rumah yang berbeda dan lebih kondusif, sehingga membangkitkan semangat Azizul untuk bekerja. Walau sisi lain hati meraba, itu karena hal yang berbeda. *** “Ada tetangga yang meminta diajari mengaji.” Ira membuka cerita pada suatu makan malam. Azizul mengangguk-angguk, menyelesaikan kunyahan. “Bagus. Kamu jadi ada kegiatan, kan, Yang?” “Betul. Hitung-hitung mengganti rutinitasku dulu menemani Abah,” jeda, “kerjaan Akang bagaimana? Lancar?” Azizul menjawab dengan anggukan lagi. “Kalau novel yang katanya proyek pribadi itu?” Ira masih ingin mengobrol rupanya. Hal yang mulai jarang bisa terjadi. “Semakin menemui titik 'progress'.” Ira mengernyit. “Maksudnya?” Azizul membersihkan bibirnya dengan tisu. “Sudah ya? Aku berangkat dulu. Sampai nanti malam …,” Satu kecupan mendarat di pipi Ira. *** Gambir, pukul 11:00 Mata Azizul belum mau terpejam. Raganya lelah, tapi ada sesuatu yang membuatnya bergairah. Selesai mengetik, ia nyalakan jaringan internet. Kali ini lewat laptopnya, ia tancapkan sebatang modem di sana. Semua tepat seperti yang diharapkan, bulatan kecil itu hijau. ‘Masih daring?’ Ketik Azizul memulai. Dijawab stiker bergambar bocah lelaki nyengir di belakang perangkat komputernya. Azizul membalas lagi dengan ikon tertawa. ‘Kangen ya?’ Sebelah bibir Azizul menyunggi membacanya. ‘Semburat mentari jingga takkan pernah ada tanpa hadirnya senja.’ Tulis Azizul lagi. Dan percakapan dengan bahasa tulisan pun terus berlanjut. Seiring malam yang semakin larut. ‘Kau, Az, kalimatmu masih saja membuatku melayang, tahu?’ ‘Hahaha’ ‘Walau dari barisan huruf, kukira tawamu pun masih membahana mesra seperti dulu. Hihihi.’ ‘Oh, ya? Dan dapat kupastikan, tawamu juga masih secentil dalam benakku.’ ‘Ow .. ow, such a compliment.’ ‘Kau masih sibuk? Kapan kita bisa ketemu?’ Usai menekan tombol enter di ujung kalimat, Azizul beranjak. Sekian menit ini dia tahan untuk buang air kecil. Ira menggeliat mendengar pintu kamar mandi yang ditutup dengan terburu. Kali ini dia ikuti insting itu. Memberanikan diri mengintip layar Facebook sang suami. Matanya langsung tertuju pada kolom chat yang terbuka dan berkedip-kedip tanda ada pesan baru yang masuk. ‘Bagaimana istrimu?’ Bunyi pesan itu. Ira hendak mencoba scrolling up obrolan, saat suara pintu kamar mandi dibuka terdengar. Ia kembalikan kursor ke posisi semula. Berjingkat menjauhi meja kerja Azizul, naik ke atas kasur, memeluk guling seperti sebelumnya. Matanya memejam. Tapi nama Senja Kamila dan sebaris tulisan ‘kapan kita bisa ketemu?’ menderu-deru. “Aku ada janji, jadi tidak makan malam di rumah.” Ucap Azizul sebelum berpamitan, pagi harinya. “Oh. Baru mau minta izin Akang juga, Ira diajak pergi sama ibu yang privat mengaji, ba’da Isya nanti. Semalam mau cerita, lupa. Boleh Kang?” Azizul mengangguk mengusap pipi istrinya. *** “Gelinjang Bayang?” Senja mengucapkan judul puisi itu, melirik Azizul. Lalu membacanya hingga tuntas. “Kau suka?” Azizul memiringkan kepala, mencari manik mata hitam pekat kekasihnya. Restauran masih sepi. “Apa kata-kata penulis selalu liar begini?” “Tak pernah seliar itu, semenjak kita terpaksa berpisah, Senjaku. Dan kau harus tahu, aku jujur.” Restauran mulai ramai. Senja masih menyunggingkan bibir tipisnya. Dan senyum yang disertai tatapan syahdu itu membuat Azizul tersihir. Terlebih pada rambut spiral Senja. “Semua selalu tentang kau, perempuanku.” “Oh, Az, sungguh?” senyum Senja semakin malu. Azizul melambai ke satu tempat. Tak lama dua violis restauran datang. Mengalunkan ‘A Whole New World’ di samping mereka. Memaku langkah Ira yang baru sampai di pintu masuk restauran, bersama seorang ibu paruh baya. Di sana Azizul mengusap pipi tirus, mesra. Dan wanita—dengan rambut spiral yang diidamkan Ira—itu menggenggam tangan Azizul yang lain. Rautnya terlihat menikmati betul suasana.[] Sleman, 18 April 2015 =================================================== Note: tanda petik satu (') menyatakan dicetak miring di naskah aslinya. Mudah-mudahan tidak ada yang terlewat. Mari mampir teman semua. Silakan baca, semoga dapat menikmati suguhan yang satu ini. Menantikan saran dan kritik yang membangun dari teman semua juga jempolnya. He, terimakasih ya ... :) by Dinu Chan

Related Posts:

0 Response to "Dinu Chan"

Posting Komentar