Judul: Frends Forever Oleh: Yuneet Mujtaba Namaku Azizul, biasanya mereka memanggilku Izu, Suatu sore, cahaya senja menembus masuk memberi kilauan indah pada tembok perempuan itu. Tak hanya membuat tembok itu berkilauan, senja yang juga jatuh di atas tangannya, memberi semacam rasa hangat. Rasa yang asing baginya, tapi menjadi candu. Iya, sebut saja namanya Yayang Ira. Aku tak membantah bila matanya adalah rangkuman dari keajaiban dan misteri-misteri semesta, dimana selalu banyak tempat untuk menyembunyikan sesuatu, semisal, aku yang mencintai diriku yang kau lihat tengah duduk kesepian dalam matamu. Pada suatu malam yang sunyi dan penuh keheningan, dunia seolah terasa khidmat menunduk, menghentikan rutinitasnya untuk berotasi. Sesosok tubuh yang tak terlapisi selembar pun benang, duduk dalam posisi lotus. Meditasi. Membuat pikiran seolah-olah kosong. Namun, entahlah ... nafsu bejat telah merasuk dalam pikirku. Dan aku telah menodai sahabatku sendiri, yang sekarang menjadi istriku. Aku tidak pernah berpikir kalau hidupku masih bisa bernafas setelah kecelakaan tabrakan mobil yang membuatku koma selama 1 bulan lamanya. Istriku Yayang Ira berkata padaku, bahwa Tuhan masih sangat mencintaiku sehingga, ia memberikan satu kehidupan baru dalam hidupku. Selama proses pemulihan aku hanya bisa duduk terbaring di kursi roda untuk melakukan aktifitas, sebagai anak tunggal satu-satunya dalam keluargaku, ayah dan ibu sangat mencintaiku. Hidupku terlahir dengan kekayaan berlimpah, istriku cantik dan sejak kecil aku terbiasa dimanjakan sebagai anak orang kaya. Aku bersekolah di Australia saat lulus dari SMA dari Jakarta, menjadi orang kaya tidak membuatku dapat memiliki sahabat karena sifatku yang pendiam terlebih kata ibu sejak kecil aku mempunyai jantung yang lemah. Tidak heran mereka selalu mencemaskan keadaanku yang tidak pernah aku pikirkan, lucunya baru tahu jantungku membusuk saat kecelakaan itu terjadi. Aku duduk di teras rumah yang menghadap ke laut Jawa dan memilih tempat itu sebagai masa penyembuhan dan rehabilitasi. Istriku sedang membuatkan segelas susu dan aku tanpa sengaja melihat sebuah buku novel tergeletak di meja teras, mungkin saja istriku baru membacanya dan menaruhnya disana. Aku membuka lembaran itu dan terselip sebuah foto antara aku, istri dan seorang sahabat yang telah lupa dalam ingatanku bernama Darren. Bukankah ini foto saat kami berada di Australia, Darren berkerja sebagai pelayan kafe dan saat itu aku, istriku dan dia berfoto bersama saat berdiskusi. Istriku datang dan menghampiriku sembari meletakkan segelas susu di meja. “ Mengapa foto ini ada di sini sayang?” tanyaku “Hmmm ... it—itu...” Istriku terkejut, mungkin karena ia takut gambar itu membuat aku teringat masa lalu. “ Maaf aku tidak sengaja menemukan novel itu dari kiriman pos seseorang dan ketika membukanya terdapat foto kita semasa kuliah.” Aku terdiam, istriku langsung seperti salah tingkah. “ Ngomong-ngomong sekarang dimana Darren, bukannya terakhir kita masih melihatnya saat bulan madu di Perth?” Istriku terdiam, suara telepon tiba-tiba bordering dan dia langsung meminta izin untuk mengangkat. Aku hanya bisa mengenang foto kenangan itu, Darren adalah sahabat pertama yang menjadi temanku saat aku nyaris mati karena kedinginan terserang hujan deras, ia bukan laki-laki beruntung seperti hidupku. Bahkan untuk menyambung hidupnya ia harus bekerja sebagai pelayan restorant, aku berterima kasih padanya karena berkatnya aku masih bisa hidup sampai detik ini. Berkatnya juga aku bisa mengenal istri yang kucintai saat ini, persahabatan kami baik-baik saja hingga sebuah tragedy terjadi dalam hidup kami. Suatu ketika semua orang mempergujing aku di kampus. Dan mengatakan aku seorang gay karena terlalu dekat dengan Darren. Terang saja aku marah, kami normal dan dekat karena dialah satu-satunya sahabatku di Australia dan aku bahkan rela menghajar orang-orang yag menjelek-jelekkan sahabatku itu. Tapi pertanyaan it u terus menghantuiku, sebagian dari sahabatku memang pernah berbisik kalau sahabatku itu gay tapi tidak pernah mengatakan begitu walaupun mereka sudah mengenal sebelum hadirnya aku. Tapi hidup memang pahit, di mataku sendiri Darren berciuman dengan sesame pasangan gay-nya. Aku hancur dan malu memiliki sahabat seperti dia, ada yang aneh ketika melihatnya berbuat demikian. Sdyney memang kota bebas bagi gay, tapi tidak buat aku. Aku melupakan semua kebaikan yang pernah dia berikan padaku, jijik rasanya aku melihat monster itu hidup bersamaku selama ini. Aku tau Darren melihatku memergokinnya saat itu, ia panik dan meminta maaf karena selama ini tidak jujur dengan statusnya, hal terakhir yang kudengar dari mulutnya adalah “Aku mungkin gay, tapi aku bukanlah monster yang ada disampingmu selama ini. Bagiku siapapun boleh menganggap aku manusia hina tapi janganlah kau sahabatku, karena kaulah satu-satunya sahabat dalam hidupku yang yatim piatu tanpa siapapun.” Aku tidak tergoda oleh kalimat itu walau terasa menyedihkan, kutinggalkan Darren saat itu juga dengan membawa Ira pindah ke Perth. Aku tau Ira ingin menyarankan aku untuk menerima kenyataan tapi hatiku membeku dan tidak sudi memiliki sahabat gay dan menjijikan seperti dia. Sejak saat itu aku tidak pernah melihatnya seperti yang aku katakan sebelumnya kami kembali bertemu saat aku sedang berbulan madu bersama istriku tepatnya 3 tahun setelah kami berpacaran di sebuah restorant mewah ketika Darren mulai menjadi koki di restorant itu. Aku sadar ini saat terakhir aku berjumpa dengannya, karena aku akan kembali ke Jakarta. Saran istriku padaku untuk setidaknya mengucapkan kata perpisahan dengannya aku turuti, aku pun mengundangnya minum kopi bersama sebagai sahabat lama walaupun di hatiku tidak pernah mau memaafkan statusnya sebagai gay. Kami bicara seadanya tentang hidup kami , dia mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Dan kami pun berpisah, ketika pulang aku tidak mengingat semuanya selain sebuah mobil menabrakku dan aku pun koma hingga tidak sempat mengingat Darren. Istriku kembali, dengan wajah sedikit senduh dia duduk disampingku. “ Sayang, sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang foto itu” tanya balik istriku setelah meneriama telphon dari Mamaku. “ Tidak ada selain pertanyaan kemana Darren saat ini?” Istriku menunduk sambil berkata “ Dia ada di sini...” Aku menjadi bingung. “ Maksudmu apa?” tercengang diriku “ Darren tidak akan pernah ada di dunia ini lagi, tapi dia akan selalu ada di sini, tepatnya di jantung yang kamu miliki saat ini.” “ Aku tidak mengerti maksudmu?” Istriku menangis sambil bercerita, disaat-saat terakhir usai kecelakaan terjadi. Orang yang membawaku ke rumah sakit adalah Darren, Dokter mengatakan bahwa jantungku sudah tidak berfungsi. Aku hanya memiliki waktu sedikit untuk tetap hidup dan Dokter menyarankan Darren mencari donor jantung. Istriku Ira begitu terkejut dengan berita kecelakaan itu, ia menangis disamping Dareen. Tidak mungkin mencari jantung yang tepat dalam waktu saat kondisi kritis seperti ini. ” Darren, sebentar lagi Azizul akan menjadi seorang ayah, aku tidak lagi sanggup hidup bila bayi dalam kandunganku ini tidak memiliki ayah..” ujar Ira. Darren tersenyum dan berkata “ Percayalah kalau Izu akan tetap hidup disamping kamu untuk selamanya” Itu--lah kata-kata terakhir dari istriku, Darren mendekat pada Dokter dan berkata ia mau mendonorkan jantungnya padaku. Dokter terang saja menolak keinginan Darren karena tidak ada hukum yang mengizinkan orang sehat untuk berbuat demikian. Darren tidak putus asa, baginya hidupnya yang sebatang kara tidak akan memiliki masa depan terlebih tak akan ada seorang pun yang peduli padanya. Ia dengar kalau hanya orang yang sekarat boleh mendonorkan dirinya, sahabatku melakukan tindakan bodoh. Sesaat sebelum kematiannya ia menelepon Dokter dan mengatakan bahwa seseorang donor yang bersedia menyumbangkan jantungnya. Dokter bertanya siapa orang itu! dengan tersenyum dibalik telepon Darren berkata “Saya menunggu anda di belakang rumah sakit, jantung ini hanya bisa bertahan selama beberapa saat, saya mohon Dokter kemarilah dalam waktu 10 menit.” Dengan berani Darren menabrakan dirinya pada sebuah truk yang lewat, dia mengorbankan dirinya untuk menjadi donor dalam keadan sekarat. Ira menerima kabar itu usai operasiku berjalan lancar saat itu ia hendak bertanya sosok donor yang menyumbangkan jantungnya dan berpikir untuk mengucapkan terima kasih pada keluarga, Dokter mengatakan sang donor adalah Darren. Yayang Ira tidak mungkin mengatakan kejadian itu padaku, ia hanya ingin menunggu saat yang tepat dan saat inilah aku tau. Aku hanya bisa menangis di atas makam sahabatku. Entah betapa bodohnya aku tidak pernah mengerti arti sahabat dalam kehidupanku. Kalau saja saat itu aku memaafkan apa yang terjadi mungkin tidak akan ada penyesalan dalam hidupku. “Dia sahabat yang tidak hanya menolong hidupku satu kali tapi dua kali, bukanlah dia yang seharusnya meminta maaf tapi akulah yang meminta maaf tidak pernah mengerti bertapa dia adalah sahabat sejati dalam hidupku, aku terlalu egois mengatakan bahwa dia gay dan dia adalah petaka dalam hidupku. Mungkin kata dia terakhir padaku tidak akan pernah terlupa dalam ingatanku, ia memang gay tapi ia bukanlah monster yang akan mencintai sahabatnya sendiri.” Aku tidak akan pernah melupakan hal ini, walaupun hidupku berjalan dengan waktu, semoga kisahku tidak membuat kalian menjadi seperti aku. Ingatlah sahabat itu hadir dalam hidup kita tanpa pernah kita sadari bahwa sejatinya tidak ada manusia yang sempurna dalam hidup ini. anakku terlahir beberapa bulan kemudian dan untuk mengenang sahabatku, keberikan nama Darren padanya. Gay, lesbi, pria buta, wanita bisu mereka adalah manusia yang memiliki hati untuk mencintai dan kasih dalam persahabatan. Setidaknya kita menyadari saat ini sebelum terlambat. SEKIAN Tanjungkarang, 17.04.2015 by Yuneet Senjakala
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Yuneet Senjakala"
Posting Komentar