Varun Fahim

PENGENDARA VS POLRI Cerpen Oleh: Varun Fahim Cukup menyenangan acara berkumpulnya dengan teman-teman sejak dua hari yang lalu. Sekadar berkumpul dan reuni. Karena sudah tiga tahun tidak bertemu. Kami semua jalan-jalan ke pantai di kabupaten Bantul pagi hari, melihat matahari terbit. Selesai shalat dzuhur, aku berkemas pulang ke temanggung. Sesampai di lerbatasan DIY - Jateng, aku dicegat oleh polisi. Dia meminta untuk memlerlihatkan identitas serta surat lengkap mengendarai motor. Dia beralasan lampu motor bagian depan tidak menyala. Tetapi aku tak mungkin itu benar. Hanya saja memang motorku yang tua ini lampunya memang redup. Saat di meja pos, polisi yang bertugas mencatat itu memasang wajah angkuh membuatku jengkel. Seakan mataku berkaca-kaca, tapi tetap bertahan. "Pak, tolong. Saya tidak bawa uang. Itu aslinya lampu menyala. Saya sudah kehabisan uang buat ganti ban dalam pak" ujarku gagap untuk menyampaikan alasan. Polisi itu diam sambil melanjutkan menulis-nulis surat tilang prngendara lain. "Bagaimana pak? Saya cuma bawa uang dua puluh pak" kataku. "Yowis. Nang pengadilan wae sesuk" (ya sudah di pengandilan saja besok) bentak polisi itu. Tanpa pikir panjang, aku segera mencari rumah saudaraku di daerah sekitar ini. Aku menuju rumah saudara sepupu dari ayahku. Di sana aku menceritakan kejadian tadi pada paman dan bibi. "Bu lek, saya mau pinjam uangnya besok akan saya kembalikan" pintaku. "Ya..sebentar. Saya ambilkan". Kata Bu lek Marni, sembari melangkah masuk kamar. "Ini uangnya. Semoga polisi-polisi itu diberi peringatan oleh Allah ya". Katanya sambil mengiringi sedikit doa. "Amin". Jawabku. Pak lek ku menceriitakan kepadaku tentang pesan dari si Mbah buyut. "Dulu sejak aku dan bapakmu sama-sama masih remaja. Tidak hanya kami, tapi kita semua. Anak-diberi pesan sama Mbah Edi. Jangan sampai ada yang mau jadi polisi maupun hakim atau pengacara. Di situ banyak dosa jika tidak bisa adil. Apalagi polisi, meminta uang dengan paksa tanpa membenarkan apa maksud penilangan dan uangnya untuk apa? Begitulah. Maka sekeluarga semua tidak ada yang akan jadi polisi. Apalagi ucapan orang tua itu barokah jikah kita mengikutinya. Selagi ucapannya benar kita yakini saja. Ya kan?" Begitu ceritanya. Lalu aku berpamitan untuk mengambil surat-surat itu ke polsek Salam. "Wassalamualaikum" "Waalaikumsalam" jawab mereka. Selesai aku mengambil surat-surat itu dan membayarnya. Segera pulang, mengendarai motor sambil komat-kamit mendoakan untuk diri sendiri dan para polisi itu. "Ya Allah. Berikanlah aku ini barokah. Selamat. Rezeki yang halal dan baik. Hamba tak ingin seperti mereka yang merampas. Berokanlah peringatan untuk mereka. Apa yang telah mereka lakukan. Ya Allah. Berikanlah..." Terus berulang kali aku mengucapkan itu sampai aku tiba di kampung halaman. *** Saat lebaran tiba, aku mengunjungi rumah Bu lek Marni. Mereka bercerita tentang ada para polisi sedang sakit. Dan polisi-polisi itu tetangga dari Bu lek Marni. "Satu polisi dilarikan ke RS karena mendadak koma. Dan empat polisi yang lain menyusul dengan penyaki yang berbeda. Ada yang gejala stroke. Ada yang sakit jantung, hipertensi dan lever. Kejadian itu saat kamu ditilang itu loh. Kalau kamu masih ingat nak." Cerita Bu lek. "Dan yang koma itu tetangga belakang rumah ini." Kata pak lek sembari jarinya menunjuk ke belakang. "Akhirnya mereka kualat juga ya?" Kata Bu lek dengan wajah sinisnya. "Jangan seperti itu Bu lek. Kita doakan saja untuk mereka. Oh ya, apa mereka ingat saat kejadian itu ketika saya ditilang? apa masih belum menyadari? Ah sudahlah. Biarkan saja." Kataku. "Oh ya. Mumpung kamu di sini. Kalau mau ikut saya jenguk ke RS. Nanti kamu akan tahu. Apakah itu termasuk wajah mereka saat menilang kamu. Mau tidak?" Rayu Bu lek. "Boleh. Ayo." Di rumah sakit. Polisi yang koma di ruang ICU itu ternyata yang menulis surat tilang. Dia wajahnya kosong penuh selang-selang kabel atau alat apa itu di sana. Tidur dengan enak tak berauara. Dan matanya tak sesekalipun membuka. Bu lek Marni sedang berbincang dengan istri polisi itu. Entah mereka bicara apa. Tapi sedikit kalimat terakhir aku mendengarnya. "Begini mbak. Coba dibisikkan suara. Dia bersalah sama siapa saja. Nanti kamu memintakan maaf untuknya. Supaya lekas sembuh". Wanita istri polisi itu menangis sambil meraih wajah suaminya. "Mas. Sebenarnya punya salah sama siapa saja mas? Punya hutang apa saja? Punya dosa apa saja? Aku yang akan memintakan semua itu supaya kamu sembuh mas". Bisik wanita itu menangis tersedu-sedu. Bu lek Marni mendekat. "Mungkin salah satunya ini", kata Bu lek, sembari meraih pundakku. "Dia pernah dia tilang. Dan suamimu keras kepala. Dan angkuh". Kata Bu lek melanjutkan. "Astaghfirullahaladzim", ucap wanita itu. Terus menangis memeluk wajah suaminya. Wanita itu lalu mendekatiku. "Mas. Maafkan suami saya mas. Maafkan. Saya mohon," kata wanita itu. "Saya akan memafkan. Tapi dia bangun dulu. Karena dia masih koma. Kalau mau dia minta maaf secara langsung atas perbuatannya. Saya memang sakit hati. Tapi dia yang meminta maaf. Dan saya akan melihat wajahnya langsung". Kataku. Sejenak kemudian, tangan kanan polisi itu sedikit bergerak. Lalu wanita itu memanggil perawat dan dokter. Aku dan Bu lek menunggu di luar. Sampai setengah jam, lalu aku masuk ke dalam. Polisi itu sudah bisa membuka mata. Namun mulutnya masih tertutup masker selang infus. Aku mendekatinya, dan bersalaman dengan polisi itu. Dia sedikit mulai bicara. "Maafkan saya" katanya, dengan suara serak. "Ya. Saya maafkan. Tapi bapak dan kawan-kawan harus keluar dari polri. Lakukan sebuah tindakan bahwa bapak dan kawan-kawan mengundurkan diri dari polisi. Aku bersumpah jika bapak benar-benar lakukan itu, Allah yang akan memaafkannya. Karena saya sendiri tidak tahu. Bapak benar benar bertobat atau tidak. Kalau benar benar bertobat bapak lakukan itu. Dan ajaklah kawan-kawan yang bersama.bapak pada saat itu untuk bertobat." Ujarku dengan memberikan pernyataan persyaratan. Polisi itu meneteakan airmata terus menerus. "Baiklah" jawabnya. "Oke. Saya doakan semoga bapak lekas sembuh. Tapi bapak harus bersumpah lakukan itu yang saya minta tadi." Kataku kembali menyumpahi polisi itu. Semua selesai, lalu saya dan Bu lek berpamitan pulang. *** Tiga bulan kemudian. Aku mendapatkan SMS dari Bu lek Marni. "Apa kabar sayang? Polisi itu sudah mengundurkan diri dan sudah bertobat. Dan teman-teman yang lain juga mengundurkan diri. Semua sudah sehat. Dan polisi yang kamu jenguk itu ingin bertemu denganmu." by Varun Fahim

Related Posts:

0 Response to "Varun Fahim"

Posting Komentar