Ratna Puspita Sari

Kebetulan atau Takdir? oleh : Ratna Puspita Sari Aku diam. Lagi-lagi ‘kencan buta’. Ahh sudah sekian kali aku bosan mendengar si Anu ingin mengenalkan teman, saudara, kakak, atau apalah padaku. Aku hanya tersenyum kemudian melanjutkan bermain di notebook putih. “Dia seorang guru dan sedang melanjutkan S2-nya di salah satu Perguruan Tinggi Negeri.” ibu menceritakan kembali dari perkataan seorang teman kampusku. Kuhentikan jari-jariku dari keyboard. Pandanganku beralih pada cerita Ibu. Kali ini merasa cukup tertarik. Masuk kriteria, pikirku. Aku mulai melontarkan beberapa pertanyaan pada Ibu. Mungkin terlihat seperti seorang wartawan yang mewawancarai nara sumbernya. Bibit, bebet, bobot begitu orang Jawa bilang. Beberapa hari setelah cerita Ibu yang kurang dapat dipercaya, aku tampak tidak berusaha untuk mencari tahu sendiri si pria misterius itu. Maklum, untuk urusan itu aku agak masa’ bodoh dan cuek. Notification smartphone-ku berbunyi. Salah satu teman mengirim pesan singkat, sekadar menanyakan kabar. Aku tersenyum. Duh pasti dia akan membahas si pria misterius itu. Kuahlikan pembicaraan lewat instant message itu. Aku mulai menanyakan progres proposal skripsinya dan persyaratan umroh di travel yang ia kenal. Berhasil. Dia tidak membahas apapun mengenai si pria misterius. Besoknya, temanku mengirim message lagi. Kali ini aku tidak bisa menghindar, dia langsung to the point tentang si pria misterius. Ibu sudah cerita sama kamu kan? Aku ingin mengenalkan kamu dengan teman kakak. Begitu isi pesannya. Kemudian dia melanjutkan dengan menyebutkan nama, dan PIN si pria itu. Sengaja kubalas lama. Sebenarnya agak bingung untuk membalas apa? Pada akhirnya aku mencoba meng-invite PIN Blackberry si pria itu. Beberapa jam kemudian si pria itu menerima pertemananku. Tidak menggunakan display picture dirinya dan sebuah personal message-nya yang mencuri perhatianku. Cerdas dalam membuat kata. Kubiarkan tidak menyapa untuk pertama kali. Aku sudah meng-invite pertama mengapa harus menegur pertama juga? I’m a woman, pikirku. Beberapa hari sudah contact personal pria itu hanya menjadi penghias smartphone-ku saja, tanpa ada percakapan sama sekali. Baiklah. Malam hari, seperti kebiasaanku sebelumnya, berselancar di dunia maya. Aku tergabung dalam sebuah grup Komunitas Bisa Menulis di facebook. Anggotanya sudah lumayan banyak, namun aku bukanlah anggota aktif untuk ikut menulis karya-karyaku di grup tersebut. Kesenanganku untuk membaca tulisan-tulisan para anggota, membuatku banyak belajar kosakata baru dan dalam penggunaan EYD. Jelas sangat berguna bagi penulis amatir sepertiku. Perhatianku tertahan oleh sebuah tulisan dari sebuah nama anggota Komunitas Bisa Menulis. Namanya mirip dengan si pria misterius. Dengan rasa kepo akut, aku membuka profile-nya. Tidak menggunakan poto dirinya. Aku membaca sekilas halaman biodatanya, hanya terisi lulusan Universitas Gontor dan tanggal lahir lengkapnya. Aku cukup terkejut saat melihat mutual friend-nya, seorang adik kelas kampusku. Aku mencoba mengirim pesan singkat pada adik kampusku. Tidak ada balasan. Terpaksa aku bertanya langsung dengan teman yang mengenalkanku. Kejelaskan secara rinci mengenai perihal tadi. Aku menceritakan hasil temuanku di profile si anggota Komunitas Bisa Menulis. Aku mencocokan. Untuk tanggal lahir, temanku memang tidak tahu tanggal lahir si pria itu tetapi untuk lulusan Universitas Gontor dia membenarkan. Aku semakin penasaran dengan sebuah kebetulan itu. Aku semakin mencari tahu profile si pemilik facebook. Kucari album potonya. Lagi-lagi tidak menemukan poto asli, hanya gambar-gambar pemandangan dan beberapa kata-kata motivasi. Ah, sama misteriusnya. Dari halaman terakhir di album poto, aku berhasil menemukan poto pribadinya. Aku segera mengirim poto itu pada temanku. Menunggu jawaban. Jawabannya membuatku shock. Benar saja, si pemilik akun facebook ternyata si pria misterius yang akan dikenalkan oleh temanku. Aku tertegun. Aku benar-benar tidak sengaja menemukan profile Facebooknya di sebuah Komunitas Bisa Menulis. Kebetulankah? Temanku mentertawaiku dalam percakapan instant message kami setelah aku menjelaskan. “Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua itu takdir.” begitu jawabannya. Aku terdiam, mencoba mencerna nasihatnya. Benar, kebetulan hanya sebuah kepercayaan seseorang yang tidak meyakini qada dan qadr Allah. Bukankah debu yang beterbangan juga sudah ada yang mengatur? Aku tersenyum, maju satu langkah darinya karena aku sudah melihat wajah aslinya pada sebuah potonya. Aku memang sengaja tidak menggunakan poto-poto selfieku lagi untuk semua akun media sosial dan instant messageku . Baik, akan kuceritakan detail si pria itu (tetap merahasikan nama). Pria itu lulusan S1 Pendidikan di Universitas Gontor dan sedang mengambil program S2 di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Indonesia dengan jalur beasiswa. Kelahiran tahun 1985, akan berusia 30 tahun di tahun ini. Pendiam dan kutu buku (ini temanku yang nilai). Pekerjaannya sekarang adalah guru dan seorang mentor di sebuah asrama sekolah Islam di Tangerang. Melihatnya dari poto, pria itu sederhana, dan dingin (mungkin). Seorang yang suka menulis juga. Sampai saat ini aku masih tidak percaya. Mengapa aku mengenalnya (secara tidak sengaja) di sebuah grup Komunitas Bisa Menulis? Dan ternyata kita sama-sama tergabung di dalamnya sudah cukup lama. Padahal temanku sendiri belum mengenalkan sosok si pria itu secara langsung. Takdirkah? Entahlah. Untuk seorang teman di Komunitas Bisa Menulis, Tangerang, 18042015 by Ratna Puspita Sari

Related Posts:

0 Response to "Ratna Puspita Sari"

Posting Komentar