Muqoddasah

Betapa Bodohnya Oleh: Ova Laela Muttaqiyah Kupandangi wajah lembut itu, senyum dengan lesung di pipi, rambut tergerai panjang, serta bibir merah muda. Memandanginya yang tengah tertidur di pangkuan, membuat hasratku mulai naik. Ah, dasar lelaki. “Eh, Bang Aziz.” Ia buka mata dan kami beradu pandang, lembut. Desah nafasku di keningnya membuat ia terbangun, “aku ke kamar anak-anak dulu Bang.” Ia segera beranjak pergi menuju tempat yang dimaksud. “Yang?” tanyaku cemberut. Dia memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuk di bibir. “Ssst.” *** Limabelas tahun usia pernikahan kami. Awal menikah ia tak bisa memasak, tak suka mencuci pakaianku karena jijik. Bahkan tak tahu bagaimana caranya melayani suami. Setiap hari hanya pergi ke rumah mertuaku. Entah apa yang ia lakukan. Tak jarang menginap di sana, meninggalkanku sendiri di rumah tanpa sesuap nasi pun. “Yayang, aku tahu kau tak suka padaku. Tapi kita sudah menikah, cobalah untuk menerima sedikit saja.” Aku protes pada suatu hari. “Akan kucoba, tapi tak sudi kuberjanji padamu.” “Baiklah, aku akan bersabar.” Kami menikah bukan karena cinta. Orang tuakulah yang menjodohkan. Awalnya aku dan yayang Ira menolak, tapi kami tahu bahwa ridho-Nya ada di genggaman ridho orang tua. Sebelum menikah, ia pernah kabur meninggalkan rumah. Hingga saat ini, sebagai suami aku tak pernah ingin tahu ke mana dan dengan siapa ia pergi. Cukuplah sebagai masa lalu. Tapi, perlahan semua berubah. Kelahiran buah hati kami membuat yayang Ira banyak belajar. Istriku mulai mencoba memasak, mengerjakan segala urusan rumah dan melayaniku dengan baik. Cinta yang dulu tak pernah ada, perlahan tapi pasti memenuhi matanya kala menatapku. Tatapannya terus menghangat dari waktu ke waktu. Awal kami menikah, rambutnya tergerai tanpa penutup kepala. Tapi sekarang, kerudungnya semakin menyejukkan pandangku. Bacaan Al Quran yang indah, ditambah dengan suara yang merdu, membuatku ingin cepat pulang ke rumah hanya untuk mendengarnya mengaji. Saat ini ia tak hanya seorang istri bagiku. Lebih dari itu, ia adalah bidadari dunia. Bahkan dalam sujud di akhir shalat, kupinta pada Sang Khalik agar menjadikannya bidadari surga. Di bawah rembulan, di atas sajadah dan tubuh berbalut mukena putih, kulihat bulir bening menganak sungai mulai dari mata menghilir ke dagunya. Kudekati yayang Ira. “Ada apa yayangku, cintaku, manisku?” Ia meraih tanganku, lalu mengecupnya. “Aku mencintaimu Bang, maafkan jika raga yang lemah ini banyak membuatmu susah.” Mata kami beradu sejenak. Lalu mendekap tubuhnya, hangat. Dagunya berada di pundakku. Hati berdesir, jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba ia melepas pelukan, “Abang jangan norak ah, jantungmu seperti mau lepas.” Kami tertawa. Indah, rasanya aku tak ingin kehilangan waktu-waktu seperti ini. Bagai sepasang kekasih yang baru saja memadu cinta. Kami memuji satu sama lain, menghitung-hitung berapa lama telah hidup bersama. Aku adalah dia, dan dia adalah aku. Duhai masa, izinkan kami tetap bersama. Memadu hati memahat senja. Menggamit cinta hingga masa tua, dan bantu kami meraih surga. *** “Hati-hati di jalan ya, Bang. Semoga pekerjaan hari ini diberi keberkahan.” Pesan yayang Ira sebelum aku berangkat kerja. Kukecup keningnya dengan lembut. Ia tersenyum, manis sekali. Aku adalah seorang direktur kemahasiswaan di sebuah Politeknik. Selama menjabat, ada banyak perombakan untuk memperbaiki karakter mahasiswa. Siang ini, kukumpulkan semua daftar hitam mahasiswa dari tahun 1998 sampai 2014. Semua berkas digunakan untuk membandingkan tingkat penurunan jumlah mahasiswa yang masuk daftar. Kubuka berkas tahun pertama, yaitu tahun 1998. Entah mengapa, rasa penasaran semakin tinggi setelah melihat urutan angka dan nama dalam tabel. Mata membelalak menemukan satu nama yang tak asing bagiku; Ira, dengan kasus tidur bersama seorang lelaki. Kueja ulang nama itu; Ira. Tanganku bergetar, lalu mencari tahu kebenaran nama itu. Benarkah ia yayang Iraku? Benarkah ia melakukan hal tak senonoh itu? Wanita yang kucintai sepenuhnya, tambatan hati tempat mengais rindu. Sebelumnya aku memang tahu bahwa ia lulusan kampus ini. Memang tak ada catatan prestasi tentangnya, tapi juga tak ada rekan kerja yang membahas masa lalunya. Tapi hari ini, aku sendiri yang menemukan masalah itu. Kubertanya perihal yayang Ira kepada staf senior, tetapi lisan mereka seperti terkunci rapat. Kutata hati meski sakit, menahan sesak yang mulai penuhi rongga dada. Ini baru dugaan. Bukankah segalanya bisa saja salah? Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi sahabat yayang Ira. Kubuka tas, meraih telepon genggam dan mencari sebuah nama, Risa. “Tumben, ada apa kak Aziz?” Suara di seberang terdengar sumbang bagiku. “Oh, nggak, hmmm ….” Ah, aku masih ragu menanyakannya. “Ada apa kak? Ada yang bisa saya bantu? Katakan saja tak masalah.” “Risa, begini, apa Ira pernah pacaran sebelum menikah? Atau, pernahkah ia punya masalah di kampusnya dulu?” “Masalah apa kak?” “Justru karena aku tak tahu, Risa. Ayo, jujurlah.” Satu, dua, tiga detik. Tak ada jawaban. Kubentak wanita di seberang sana, “Risa!” Kudengar suaranya berat, “iya maaf kak sebelumnya. Tapi aku tak berani.” “Ira pernah tidur dengan seorang lelaki? Siapa dia? Pacarnya? Itukah sebabnya dulu ia tak mau menikah denganku?” “Iya, dulu Ira pacaran selama lima tahun. Kudengar ia akan menikah dengan pacarnya. Tapi ternyata justru dengan kakak. Sebelum menikah, sebagai ekspresi kemarahannya ia pergi menemui pacarnya.” “Terimakasih sudah memberi tahu.” “Sabar kak, yang paling penting sekarang kan Ira sudah berubah.” Wanita itu mencoba menenangkan. Tapi, tetap saja ia tak bisa merasakan sakit hatiku. Beberapa detik kemudian kututup telepon. Seketika aku limbung. Ya Allah … inikah hukuman yang Engkau berikan atas dosa-dosaku? Entahlah. Apa yang bisa dilakukan kalau sudah begini? Betapa bodohnya diriku, tak menanyakan perihal keperawanan kepada calon sebelum menikah. Tak terpikir juga untuk konsultasi tentang hal-hal demikian. Memang benar, sesal hanya mau hinggap di akhir sebuah kisah. Kini, aku memiliki dua pilihan, menceraikannya atau menikah lagi tanpa bercerai. Aku meminta izin pada staf bagian kepegawaian untuk pulang lebih awal. Berkas mahasiswa telah diberikan pada karyawan yang bertugas. Tak ada lagi kata lain dalam pikiran selain dia, yayang Ira. Aku bergegas menuju tempat parkir, menyalakan mobil lalu tancap gas sekencang mungkin. Kepala mulai sakit, nafas semakin memburu, angan menerawang jauh pada masa lalu. Satu jam sudah kulintasi jalanan tanpa arah. Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 14.30 WIB. Kecepatan mobil awalnya 80 km/jam kuperlambat menjadi 40 km/jam. Sejurus kemudian, tatapanku terhenti pada sebuah bangunan bernuansa hijau. Kubah pada atapnya membuatku ingat pada satu nama, yaitu Allah. Aku tersentak, seperti ada yang menuntun untuk masuk ke dalam masjid itu. Mobil telah kutepikan di sudut kanan depan taman. Sampai di sini, rasa tenang mulai singgah di hati. Belum sepenuhnya, namun dzikir terus terucap. Perlahan mulai menghidupkan jiwa yang mulai hilang. Aku ingat seorang teman menasihati, agar kita meminta pertolongan dengan shalat jika sedang punya masalah. Selesai berwudhu, kumasuki masjid dan memilih tempat di depan mimbar. Shalat taubat mungkin bisa menjadi penawar. Panjang sekali sujud terakhirku, di sana kuberdialog pada Pencipta. “Duhai Pemilik Jiwa, aku telah rapuh. Kau sematkan luka terdalam yang pernah singgah selama hidup. Inikah yang harus kuterima akibat segala dosa? Duhai Allah, sungguh aku menikahinya karena mengharap ridho-Mu. Inikah yang Engkau ridhoi dariku? Inikah rasa yang Kau janjikan dalam buah pernikahanku? Aku lelah dan sungguh, teramat lelah. Tunjukkanlah apa yang terbaik bagiku, keluarga, keturunan, serta masa depanku. Akhirnya ya Allah, tiada tempat kembali selain Engkau Yang Maha Agung.” Bangun dari sujud, ada rasa hangat di mataku. Air mata mengalir di pipi. Hatiku bertambah rapuh, lelah singgah lebih lama dalam dada. Namun, nafas yang memburu mulai terayun menurut keteraturan yang semestinya. Tak lama berselang, kudengar dering telepon genggam. Tertulis nama wanita itu pada panggilan masuk. Berat memang, tapi rasa takut justru menghampiri saat melihat nama yayang Ira. “Ada apa?” Tanyaku ketus. “Kak Aziz, ini aku Risa. Aku di rumah sakit sekarang. Istrimu mengalami kecelakaan.” “Kecelakaan?” Kututup telepon dan bergegas menuju rumah sakit tempat yayang Ira dirawat. UGD adalah tempat dimana yayang Ira menjalani perawatan. Selang infus, tabung oksigen, kain serba putih yang menutupi tubuhnya. Aku tak kuat melihat semua itu. “Risa, apa yang terjadi?” “Ini, tadi aku menceritakan bahwa kau sudah mengetahui masa lalunya. Dia langsung saja pergi ke luar rumah untuk mencarimu. Saat ia berlari, kakinya tersandung batu cukup besar lalu jatuh terduduk di atas trotoar jalan. Mungkin tak kuat menahan sakit ia langsung pingsan dan kembali jatuh, kepalanya membentur trotoar lagi.” *** Tiga hari sudah yayang Ira koma. Dokter mengatakan ada retak di bagian kepalanya. Sehingga terjadi banyak pendarahan. Dokter menambahkan, bahwa bisa saja yayang Ira mengalami kelumpuhan seumur hidup. Kelumpuhan disebabkan retak di tulang kepala yang menimbulkan pendaharan otak. Ya Allah, inikah jawaban-Mu atas doaku tiga hari lalu? Jogja, 18 April 2015 ---------------------------------------------------------------------------------------------- Tantangan KBMA 2015 silakan nikmati dan tinggalkan kritik di kolom komentar Terima kasih telah bersedia singgah :) :) :) by Muqoddasah

Related Posts:

0 Response to "Muqoddasah"

Posting Komentar