Fitrah Ilhami

Mohon kritikan, Sahabat. Aku sedang berencana menyusun buku bergenre anak-anak. Ini naskah perdananya. Kalau sekiranya kurang menarik, dikomen saja, biar aku bisa koreksi. Terimakasih. *** Ragu yang Sirna ============== Malam itu, Yanti melihat Fatih, anak pertamanya, duduk di meja belajar dengan wajah murung. Di depan Fatih tergeletak beberapa buku tulis yang sepertinya sengaja ia coret-coret. “Fatih, ada apa, Nak?” tanya Yanti dengan nada halus. Diusapnya rambut Fatih dengan lembut. Lelaki berusia sembilan tahun itu masih murung. Malah kini, Yanti melihat bola mata Fatih berkaca-kaca seolah menahan tangis. Yanti membelai kembali rambut sang anak, sembari duduk di sampingnya. “Ndak mau cerita sama bunda?” Yanti tersenyum. Dengan tetap menatap buku tulis yang berserakan di meja belajarnya, Fatih menjawab, “Besok aku ada ujian akhir semester, Bun. Aku takut tak bisa mengerjakannya,” suara anak lelaki itu bergetar. Yanti kembali tersenyum setelah mendengar pengakuan anaknya tersebut, “Kan, Fatih sudah belajar sungguh-sungguh setiap hari.” “Tapi …,” Fatih meragu. “Aku takut soal yang diujikan nanti, di luar kemampuanku, Bunda.” “Fatih,” ujar Yanti lembut kepada anaknya. “Kita main yuk di ruang tamu sama adik? Sebentar saja. Sambil menunggu Ayah pulang.” Fatih mengangguk. Setuju. Di ruang tamu … Kali ini Yanti sengaja membuat permainan angkat air. Perempuan itu mengambil enam botol air mineral kosong berukuran besar di dapur, lantas mengisinya dengan air hingga penuh. Kemudian ia membawa botol-botol tersebut ke ruang tamu. Tak lupa Yanti memanggil Raihan, anak bungsunya yang masih empat tahun untuk ikut bermain. “Ayo, sekarang bunda pingin Raihan dulu yang mengangkat botol ini selama tiga puluh detik,” ujar Yanti. “Berapa botol, Bunda?” tanya Raihan girang. “Dua botol saja.” Lantas, setelah hitungan ketiga, Raihan mulai mengangkat botol tersebut. Fatih memberi semangat kepada sang adik sambil tersenyum, lupa dengan keraguan hatinya tadi. Raihan menahan kedua botol itu dengan kedua tangan, lima detik, sepuluh detik. Pada detik kedua puluh, bocah yang masih duduk di TK itu melepas genggamannya. Dua botol tersebut jatuh ke lantai. “Berat, Bunda.” Raihan berkeringat, membuat Yanti yang melihatnya seketika tertawa. Tentu saja dua botol berisi air penuh akan terasa berat oleh bocah kecil itu. “Ah, Dek, gitu saja kok gak kuat?” Fatih kecewa. Yanti mengambil dua botol yang jatuh tadi, lantas berucap, “Nah, sekarang giliran Kakak Fatih.” “Ayo, siapa takut.” Kemudian Yanti meletakkan dua botol itu ke kedua tangan anak sulungnya. Tentu saja Fatih kuat, bahkan pada hitungan ketiga puluh lima pun, Fatih masih bisa tersenyum menahannya. Yanti menambah beban dengan meletakkan satu botol lagi di tangan Fatih. Anak itu tetap kuat menahannya. Namun, Fatih mulai merasa beban di tangannya kian berat, ketika sang bunda meletakkan dua botol lagi di tangannya. Sekarang ada lima botol berisi air penuh di dekapan Fatih. Yanti bersiap menumpukkan satu botol lagi di dekapan Fatih. “Sudah, Bunda.” Fatih berkeringat. “Sudah. Aku sudah gak sanggup.” “Kamu pasti bisa.” Yanti benar-benar menambah satu botol air mineral di tangan anaknya. Sepuluh, dua puluh detik selanjutnya, di luar dugaan dirinya sendiri, Fatih masih sanggup menahan beban itu. Eh, ternyata aku masih kuat, Fatih membatin. “Baiklah,” tukas Yanti, beberapa waktu kemudian. “Sekarang, turunkan botol-botol itu sekarang.” Fatih melepas dekapannya. Enam botol itu pun berjatuhan di lantai. Yanti tersenyum. Lantas bertutur kepada anak sulungnya, “Begitulah, Nak. Kemampuanmu untuk mengangkat botol, jauh berbeda dengan kemampuan adikmu. Dua botol sudah terasa berat bagi Raihan, namun engkau baru merasakan beratnya beban tersebut ketika mengangkat lima botol. Sampai-sampai, saat bunda akan meletakkan botol keenam, kau mulai ragu. Padahal bunda yakin kau masih kuat dan bisa menahan beban itu. Buktinya kau benar-benar masih kuat, bukan?” Fatih mengkerutkan kening. Belum mengerti benar apa arah pembicaraan bundanya. “Seperti ujianmu besok, Nak,” lanjut Yanti. “Bunda yakin kau akan mampu mengerjakannya, sebab tidak mungkin pak guru membebani tugas yang melampaui batas kemampuanmu. Tidak mungkin juga beliau memberikan soal yang belum ia ajarkan kepada murid-muridnya.” Ratih menepuk pundak Fatih. “Jadi jangan mudah putus asa ya, Nak? Asal kau rajin belajar, semua persoalan pasti bisa diselesaikan. Fatih, ingatlah selalu pesan ini: Tuhan tak akan membebani seorang hamba dengan suatu masalah, melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Fatih mengangguk, kini ketakutannya akan ujian, sirnalah sudah. by Fitrah Ilhami

Related Posts:

0 Response to "Fitrah Ilhami"

Posting Komentar