SEJUJURNYA TENTANG CERITAMU, CERITAKU, CERITA KITA, DI KELAS KOBIMO Sejujurnya aku ingin lebih intens di kobimo seperti dulu, tapi bagaimana pun, keterbatasan memaksaku mengendurkan diri. Hanya di kelas bedah cerita aku sempatkan hadir sejenak. Karena di kelas ini, aku mendapati teman-teman yang tengah mencoba menyuguhkan karya-karya awalnya. Yang mengingatkanku akan masa-masa di mana aku nyaris frustasi, belasan tahun silam. Aku mencoba peduli sebagaimana dulu aku ingin ada penulis lain yang peduli padaku. Sayangnya, seringkali aku masih mendapati masalah yang serupa: teknik bercerita. Ini kabar buruk. Teknik yang dihadirkan seringkali begitu kurang mengesankan--alih-alih buruk. Kau tahu, sebuah teknik yang mengesankan bisa membuat cerita sepele pun menjadi asyik dinikmati. Dan sebaliknya. Dan itulah yang sering terjadi. Kau--dan aku juga, maka bisa dibilang 'kita'--lebih sering terpesona pada isi cerita kita dari pada suntuk mengemasnya. Kau--kita--berharap pembaca akan mengikuti sampai selesai dan memuji ISI cerita kita, tapi lupa hal yang paling mendasar: jika kemasan ceritamu buruk, kau seperti menjual emas berbalut lumpur. Kabar baiknya, setiap teknik bisa dipelajari. Maka ada institut teknik maupun kursus-kursus teknik--teknik foto, menyupir, komputer, apapun. Kabar baik berikutnya, kita juga bisa mempelajari teknik dari mengamati. Dan menirunya. Meniru--mengekor atau apapun--dan bukan menjiplak. Tidak perlu diperjelas perbedaannya, jika tidak tahu, bertanyalah pada guru bahasa Indonesiamu. Maka, carilah sebuah cerita yang ditulis orang (dan sudah terbit sehingga sudah ada pengakuan dari redaksi/editor), bacalah setidaknya LIMA KALI. Ya, lima kali. Kali pertama, kita terhanyut oleh pesona ceritanya. Kali ke dua, ke tiga, ke empat, kita sudah tahu akan ke mana cerita bergulir sehingga memungkinkan kita menelaah. Kenapa begini? Bagaimana jika dijadikan begini? Dan sebagainya, yang intinya kita mencabik-cabik, menguliti karya itu untuk mempelajarinya. Cerita yang menarik tidak melulu rumit. Ini soal meletakkan nada tertentu di tempat tertentu. Maka, semakin sering kau--kita--membaca sebuah karya yang menarik, akan semakin peka pula kita terhadap nada cerita kita: struktur, diksi, plot, karakter dan semua yang membangun nada itu. Sebagaimana sebuah novelku berjudul SEJUJURNYA AKU. Cerita bertema "wanita dalam cerita" itu berkisah tentang keperawanan, pernikahan, dan pertaruhan di dalamnya. Sebuah tema yang jarang dikulik, yang kukisahkan dengan sederhana. Dengan penuh perasaan. Dengan penghayatan seolah aku adalah Charista, wanita yang kehilangan keperawanan ketika masih remaja, dan sekarang menghadapi pernikahan dengan Nathan, laki-laki yang mengagungkan keperawanan. Kuharap kau membacanya, dan menelaah bagaimana aku mencoba mengungkapkan kecemasan, ketakutan, harapan dan ketakberdayaan wanita--dan kau tahu, aku seorang laki-laki. Kau bisa menjemputnya di toko buku, atau memesannya di toko online. Ah, ya. Kabar buruk berikutnya: teknik bisa dipelajari, tetapi ruh penciptaan barangkali hanya bisa dimunculkan. Ini sebagaimana dua orang yang mempelajari teknik menggambar dengan aplikasi design grafis. Satu, sebutlah A, hanya bisa menggambar sesuatu yang sudah ada: menjiplak. Satu, sebutlah B, bisa menciptakan sesuatu yang belum ada--misalnya ketika diminta menciptakan logo sebuah perusahaan baru. Di kelas kobimo ini, aku pikir, kita saling memancing ruh penciptaan kita. Kita saling asah-asih-asuh. Kita saling berdiskusi, kadang bertengkar, tapi kita tahu, kita ingin bersama maju. Maka, jika tulisan ini seperti sampah bagimu, mintalah admin menghapusnya. Jika tulisan ini kau pikir layak pula dibaca temanmu, panggilah mereka di komentar. Salam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Aveus Har"
Posting Komentar