Ahmad Yusuf Abdurrohman

Secercah Rindu yang Terpendam Oleh: Ahmad Yusuf Abdurrohman *** Gadis kecil itu duduk terdiam di samping seorang lelaki yang sedikit lebih tua darinya. Disandarkanlah kepalanya yang mungil di atas lelaki itu. Matanya terpejam, menikmati sunyinya malam. Suara jangkrik dan katak saling bersahutan, bagai beradu keindahan nada yang mereka lantunkan. Angin malam meniup-niup, tebarkan hawa dinginnya ke udara. "Kak Andi, mengapa keluarga kita berbeda?" Dia bertanya meski matanya tetap terpejam. Kakaknya masih terpaku, menatap langit bertaburkan ribuan bintang yang berkilauan. "Maksudmu, Na?" Jawab sang kakak heran. "Ya ... berbeda," ucap Ana terputus. "Keluarga kita tak lengkap," lanjutnya. "Maksudmu, karena Ayah tak ada di antara kita?" Andi bertanya, meski sebenarnya ia telah mengetahui apa yang dimaksud oleh adik perempuannya. "Ya, itu benar, Kak. Bukankah seharusnya sebuah keluarga lengkap; ada seorang ayah, ibu, dan anak-anaknya. Begitu kan normalnya?" Kini Ana membuka kedua kelopak matanya; menatap wajah teduh kakak lelakinya. Andi menarik napasnya perlahan. Bulir-bulir senyawa oksigen perlahan masuk kedua paru-parunya. Bertukar dalam alveolus dengan karbon dioksida. Diubahnya posisi duduk; menghadap wajah adik kecil yang sangat dicintainya itu. Kedua tangannya bergerak, memegang kedua bahu mungil dihadapannya. Matanya menatap lekat, namun penuh kasih sayang. "Keluarga yang tak lengkap, tidak selamanya buruk, Na. Terkadang, dalam ketidak lengkapan keluarga kita, ada kebaikan yang kita dapatkan," Andi mencoba menjelaskan. "Tapi, aku iri pada pada teman-temanku, Kak. Setiap malam, pasti mereka berkumpul dengan keluarganya yang lengkap. Berbincang, dan tertawa bersama. Sedangkan kita ...," belum selesai Ana berucap, kakaknya menyela,"Bukankah masih ada Ibu, Dik? Bukankah masih ada Kakak? Bukankah kita juga sering berbincang saat makan malam?" Tanya lelaki itu bertubi-tubi bagai tetesan air hujan, namun wajahnya tetap teduh seperti biasanya. "Iya Kakak ... Tapi, ...." Gadis kecil itu ingin melanjutkan kata-katanya. Namun, tetap sulit terucap. Kata-kata yang telah disusunnya tercekat, berhenti di tenggorokan. Seakan tak mau meloncat keluar. "Tapi, tak ada Ayah ...," lanjutnya dengan lirih. Matanya berkaca, hampir saja tetesan sebening mutiara itu terjatuh. Namun, ucapan kakaknya menenangkannya. "Bersabarlah, Dik. Saat masih seusia dirimu, Kakak juga merasakan seperti yang kaurasakan. Tapi, kakak berusaha untuk kuat; menghapus rasa sedih itu." Mata gadis itu menerawang, melewati garis-garis jalur dimensi. Mencoba meraba kenangan masa lalunya. Namun, dia gagal. Tak ditrmukannya memori itu; memori kenangan bersama ayahnya. Akhirnya dia menyerah, dia pasrah. Dicobanya bertanya pada lelaki muda yang sedari tadi memaku di sampingnya. "Sebenarnya, Ayah pergi ke mana, Kak? Apakah dia sudah tak sayang lagi dengan kita? Mengapa dia tak mau kembali?" Dia terus bertanya, menanti jawaban pasti tentang hal ini. Sudah lama pertanyaan senada diajukan olehnya. Namun, tak ada jawab terucap. Dua orang terdekat dalam hidupnya; sang ibu dan kakak sudah berkali-kali ditanyainya. Namun, tetap saja keberadaan sang ayah tak terungkap. Keduanya selalu terdiam dengan pandangan kosong; seolah menerawang jauh melintasi ruang dan waktu. Menuju masa lalu. "Kemarilah, Dik" ujar sang kakak. Dirangkulnya tubuh gadis kecil itu, lalu disandarkan pada bahunya. Sambil tersenyum, dia mulai bercerita. Membahas masa lalu keluarga mereka. Ingatannya kembali pada kenangan itu; sebuah kenangan yang tak terasa indah ketika diingat kembali. "Saat itu, usiamu baru dua tahun. Sedangkan kakak, baru enam tahun," mulainya. "Ada ketidaksesuaian antara ibu dan ayah. Hal itulah yang membuat mereka sering bertengkar setiap hari. Dan suatu malam, terjadilah peristiwa itu; perpisahan mereka. "Kakak tidak mencegahnya?" Tanya Ana heran. "Saat itu Kakak masih kecil, dan tak tahu akan berbuat apa. Jadi, Kakak hanya bisa terdiam," jawab kakaknya sambil menundukkan wajahnya. "Lalu, Kakak tahu sekarang Ayah tinggal di mana?" Ana semakin antusias. Tangannya menggenggam lengan kakak lelakinya dengan kuat, seakan isyarat bahwa dirinya begitu rindu dengan sosok Ayahnya dan ingin segera bersua dengannya. Namun, jawaban kakaknya tak seperti yang dia harapkan. Pemuda itu menggeleng, "Kakak tidak tahu, Dik," ujarnya. "Sejak lama Kakak mencari, Namun tak juga bisa bersua. Yang Kakak tahu, setelah berpisah dengan Ibu, Ayah menikah lagi dan telah pindah ke luar Jawa. Dan kini sudah tak ada kabar lagi," lanjutnya. Pupuslah sudah harapan Ana. Setelah bertahun-tahun menanti, ternyata dia tetap tak bisa bertemu dengan ayahnya. Dia mengira, Ayahnya akan kembali dan hanya pergi untuk sementara. Tapi, kemudian dia menyadari bahwa sebenarnya sejak kecil dia belum pernah memandang wajah ayahnya, mendengar suaranya, ataupun merasakan pelukannya. Kerinduan ini, hanya tinggal kerinduan yang fana. Mungkin keinginan bertemu dengan ayahnya tak akan bisa terwujud. Namun, dia akhirnya menyadari, ada dua sosok lembut yang akan selalu mencintainya dan membersamainya dalam suka maupun duka. Mereka adalah ibu dan kakak lelakinya. "Sudahlah, Dik. Jangan berlarut dalam kesedihan. Tetaplah bersemangat," Andi, kakak terbaiknya itu menyeka bulir-bulir air mata yang mengalir di kedua pipinya. "Iya, Kak. Aku akan menjadi kuat seperti Kakak. Aku tak mau membuat Ibu dan Kakak sedih lagi," Ana mencoba untuk tersenyum. Lesung pipinya mulai nampak kembali. "Oh iya, Dik. Kakak tadi siang mampir ke toko buku. Ada buku yang bagus untukmu," kata kakaknya seraya membuka ranselnya. "Nah, ini bukunya." Diterimanya buku itu; sebuah buku bercover coklat dengan judul, Tanpa Ayah Tapi Sukses. Ana bertekad, meskipun dia tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya, dirinya akan tetap bersemangat dan membuat bangga kedua orang terkasihnya; ibu dan kakaknya. *** Jakarta, 03-04-2015 by Ahmad Yusuf Abdurrohman

Related Posts:

0 Response to "Ahmad Yusuf Abdurrohman"

Posting Komentar